Aku sedang menggoreng luka ketika tiba -- tiba hujan menyelinap masuk ke dapurku. Ia menyirami bara yang mulai memanas hingga padam. Â Lalu kumaki ia dengan lantang " Biadab!' seharusnya ini bukan urusanmu". Hujan mendelik dan tersenyum sinis. Â Hujan telah berhasil memporak- porandakan rencanaku untuk balas dendam
Hatiku semakin remuk melihat luka yang semakin leluasa di rumahku. Bahkan malam tadi  ia menginap. Esok paginya di saat luka masih terlelap di ruang tamu, aku mengendap- endap dan bermaksud untuk menutup wajahnya dengan bantal. Sehingga ia kehabisan nafas lalu mati. Sial!, ibu memergoki aksiku.Â
"Mengapa, belum juga kamu mengampuninya?" tanya Ibu setelah kami ada di dapur. Aku terdiam. Sungguh tak mengira ibu akan bertanya begitu. Bukankah luka telah berkali -- kali menyakiti ibu. Bahkan luka pula yang telah menanam benih di rahimnya hingga aku lahir ke dunia ini. Ahh...Ibu pun kini menjadi luka bagiku.
Aku marah dan menjeritkan hati yang tersayat. Dan luka pun menjelma menjadi dendam. Ia mewabahkan kemarahan ke tetangga sebelah rumah, ia mengutuk hujan yang menggenang di selokan -- selokan, bahkan ia kini merasuki mimpi malamku menjadi mimpi menyeramkan.
Tulang -- tulangku pun perlahan mengering dan hancur, hatiku membusuk, dan pikiranku sakit. Aku tak lagi berdaya, lemah lalu mati bersama luka.