Akademisi untuk Siapa?
Pada akhirnya, pertanyaan paling mendasar bukanlah berapa tinggi indeks H seorang dosen, berapa sitasi yang ia kumpulkan di Scopus, atau seberapa sering namanya muncul di Google Scholar. Pertanyaan yang jauh lebih penting adalah: untuk siapa pengetahuan itu dihasilkan?
Sebab, pengetahuan yang hanya berputar di antara segelintir elite akademik ibarat mercusuar yang cahayanya hanya menyinari dirinya sendiri---indah dipandang, tetapi gagal menjadi penuntun bagi kapal-kapal yang tersesat di lautan. Jika dunia akademik kita sibuk mengejar pengakuan global sembari menutup mata pada mereka yang terpinggirkan oleh keterbatasan akses, maka sejatinya kita sedang menggali jurang intelektual yang semakin dalam: ada kelompok yang mampu "berbicara" dalam bahasa global, sementara kelompok lain dibiarkan bisu di pinggir jalan digital.
Inilah paradoks akademisi kita hari ini. Di satu sisi, kita diajak merayakan keterhubungan global---mencapai forum internasional, memajang logo indeksasi bereputasi, atau memamerkan sitasi dari benua lain. Namun di sisi lain, ada realitas yang sering luput: mahasiswa di kampus kecil yang harus mencari literatur lewat jalur bajakan, dosen yang ragu submit ke jurnal bereputasi karena biayanya setara beberapa bulan gaji, atau peneliti lokal yang karyanya tentang kearifan masyarakat adat hanya dianggap sahih setelah diterbitkan oleh penerbit asing.
Mungkin sudah waktunya kita mengingat kembali hakikat ilmu. Ia tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi komoditas yang ditentukan oleh algoritma, pasar, atau platform asing. Ilmu lahir dari rasa ingin tahu, dari dorongan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, dari niat untuk memperbaiki kehidupan bersama. Jika ilmu dibiarkan terkunci di balik tembok paywall dan hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar, maka ia kehilangan jati dirinya sebagai pengetahuan publik.
Ilmu seharusnya milik semua orang---bukan hanya milik segelintir akademisi dengan akses premium, melainkan juga milik mahasiswa di kampus daerah, guru di sekolah desa, peneliti independen, bahkan masyarakat biasa yang haus akan pengetahuan. Sebab tanpa keterbukaan, akademisi akan terus terjebak dalam perlombaan eksklusif yang hanya bisa diikuti segelintir orang, sementara mayoritas tetap berada di luar arena.
Pertanyaan reflektifnya: apakah kita ingin ilmu pengetahuan Indonesia tumbuh sebagai mercusuar yang menerangi masyarakat luas, atau sekadar trofi yang dipajang di rak global tanpa pernah benar-benar memberi cahaya bagi bangsanya sendiri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI