"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan" (al-Alaq: 1).
Â
Tulisan Tino Rahardian berjudul "Minat Baca Pejabat, Kualitas Kebijakan, dan Rapuhnya Ekosistem Intelektualitas" di paltform Kompasiana edisi 27 September 2025 menarik disimak. Tulisan tersebut menghadirkan refleksi tajam mengenai keterkaitan antara rendahnya budaya baca di kalangan pejabat publik dengan kualitas kebijakan negara. Ia menyoroti bahwa pejabat kita kini lebih sibuk mempertontonkan gaya hidup konsumtif ketimbang memelihara kebiasaan intelektual. Ruang-ruang literasi, yang seharusnya menjadi arena pertukaran gagasan, justru tampak rapuh karena direduksi menjadi simbol formalitas tanpa makna. Kritik ini menjadi alarm yang layak direnungkan lebih dalam, khususnya ketika kita berbicara mengenai regenerasi negarawan.
Fakta bahwa banyak pejabat lebih memilih tampil di media sosial dengan kemewahan ketimbang membagikan pemikiran substantif menunjukkan krisis orientasi. Rendahnya minat baca tidak hanya berdampak pada lemahnya wawasan, melainkan juga mengikis daya refleksi yang seharusnya menopang pengambilan keputusan. Padahal, membaca bukan sekadar aktivitas personal, melainkan fondasi bagi kepemimpinan yang berorientasi pada visi kebangsaan.
Tulisan Tino benar ketika menyandingkan kondisi pejabat masa kini dengan para pendiri bangsa. Bung Karno, Bung Hatta, hingga Tan Malaka dikenal sebagai pembaca tekun dan penulis produktif. Dari bacaan dan refleksi itulah lahir gagasan kebangsaan yang visioner. Kontrasnya amat terasa: generasi pemimpin saat ini kerap gagap berargumentasi, miskin diksi, dan lebih sering mengandalkan tim komunikasi daripada mengolah gagasan sendiri. Krisis ini menandai terputusnya mata rantai tradisi intelektual dalam politik kita.
Namun, problem minat baca pejabat tidak bisa hanya dilihat sebagai kelemahan individu. Ada dimensi struktural dan budaya yang memengaruhi. Pertama, birokrasi kita masih sarat rutinitas administratif dan rapat-rapat teknis sehingga pejabat kehilangan waktu untuk membaca atau menulis. Kedua, budaya politik kita lebih menghargai pencitraan instan ketimbang gagasan mendalam. Infrastruktur fisik yang bisa cepat diresmikan lebih menarik ketimbang kebijakan berbasis penelitian yang butuh waktu panjang. Ketiga, sistem politik elektoral kita mendorong pragmatisme. Faktanya keberhasilan pejabat diukur dari popularitas, bukan kapasitas intelektual.
Dengan kondisi itu, sulit mengharapkan pejabat mau mengalokasikan waktu untuk membaca serius bila tidak ada insentif maupun penghargaan yang jelas. Ruang diskusi publik pun seringkali mandul karena lebih berfungsi sebagai forum seremonial daripada arena tukar pikiran. Di sinilah rapuhnya ekosistem intelektual yang dimaksud Tino menemukan konteksnya.
Persoalan yang lebih mendesak adalah dampaknya terhadap regenerasi negarawan. Rendahnya minat baca pejabat senior berimplikasi langsung pada teladan yang diwariskan kepada generasi muda birokrat maupun politisi. Jika pejabat hari ini lebih sibuk berpose ketimbang berdiskusi, maka generasi berikutnya berpotensi meniru pola yang sama. Kita menghadapi risiko lahirnya politisi teknokrat tanpa visi, pejabat pragmatis tanpa pijakan ideologis.
Padahal, bangsa ini tidak sekadar membutuhkan pejabat yang pandai mengelola anggaran, melainkan juga negarawan yang mampu merumuskan arah kebijakan berdasarkan bacaan, refleksi, dan visi jangka panjang. Regenerasi negarawan hanya mungkin terjadi bila ada tradisi literasi kuat yang terpelihara di tubuh pemerintahan dan partai politik. Jika tidak, kepemimpinan kita akan selalu terjebak dalam siklus jangka pendek.
Sebagai tanggapan atas tulisan Tino, penting untuk menekankan bahwa kritik terhadap minat baca pejabat perlu dilengkapi dengan tawaran solusi yang menyentuh level individu sekaligus struktural. Beberapa tawaran konstruktif penulis diantaranya: Pertama, Indikator Literasi Pejabat. Kita memerlukan instrumen untuk mengukur sejauh mana literasi pejabat, misalnya kewajiban menulis esai kebijakan, mengikuti diskusi ilmiah, atau publikasi internal. Tanpa indikator, wacana "pejabat malas membaca" akan selalu mengambang. Kedua, Ruang Literasi dalam Birokrasi. Setiap instansi sebaiknya memiliki perpustakaan tematik, forum diskusi, atau klub baca yang mewajibkan keterlibatan pejabat. Literasi tidak boleh hanya menjadi urusan pribadi, melainkan bagian dari budaya organisasi.