Mohon tunggu...
Lukman Bin Saleh
Lukman Bin Saleh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Madrasah Aliyah NW Sambelia- Lombok Timur FB:www.facebook.com/lukmanhadi.binsaleh

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dua Mutiara Itu pun Pergi

5 November 2014   14:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Persembahan untuk Pendukung Prabowo, Dahlan Iskan dan Jokowi)

Menolak Takdir

Saya hanya bisa berdiri mematung menatap tubuhnya yang terbujur kaku. Menjauh dari kerumunan keluarga yang menangis histeris. Menyandarkan tubuh di tembok yang dingin. Air mata meleleh di pipi. Tanpa isak, tanpa suara. Hanya desahan napas berat dan graham yang gemeretuk.

Sekarang wajahnya terlihat membiru. Beberapa menit yang lalu kehidupan telah direnggut darinya. Dia masih begitu muda. Ijazah SMA-nyapun belum sempat diambil dari sekolah.

Beberapa saat berlalu. Beringsut ke meja dokter, dan bertanya. Dia sakit apa? Meningitis, radang selaput otak. Sudah lama. Tahunan. Kenapa wajahnya biru? Kekurangan oksigen.

Jawaban dokter itu membuat saya semakin terpukul. Jadi selama ini kami telah mengabaikan penderitaannya? Terbayang hari-hari bersamanya. Keceriaanya, kekanak-kanakannya. Menyesal tidak berbuat maksimal mengatasi sakitnya.

Tidak jarang dia mengeluhkan sakit kepala. Sampai berguling-guling di lantai menjambak rambutnya sendiri. Sakit menusuk-nusuk katanya. Dan tidak jarang juga dia meminta ajalnya segera datang, tidak tahan.

Keadaannya yang demikian tidak lantas membuat kami mengambil tindakan serius. Pikir kami hanya migran biasa. Tapi memang dia manja dan kekanak-kanakan. Kami hanya memberinya Bodrex. Dan memang benar, beberapa saat kemudian sakit kepalanya mereda. Diapun tertidur, tampak kelelahan. Begitu yang terjadi berulang-ulang selama setahun.

Dialah mendiang adik ipar saya. Seorang remaja putri yang masih belia. Saya sebut saja namanya Cahaya. Kehadirannya di keluarga kami sangat tidak diinginkan. Bagaimana tidak? Di keluarga, kami 5 bersaudara. Laki-laki semua. Hanya beberapa hari setelah adik yang nomer 4 menerima pengumuman kelulusan SMA. Cahaya datang. Bukan mengucapkan selamat. Tapi datang sebagai calon pengantin sang adik. Cahaya sendiri baru akan naik ke kelas 3 SMA.

Ibu saat itu sok luar biasa. Berkali-kali dia pingsan mendengar putranya yang nomor 4 harus menikah. Mendahului dua orang kakaknya yang bahkan sudah menyelesaikan kuliah. Dia masih kanak-kanak. Bagaimana kehidupan rumah tangganya nanti? Belum kuliah, Belum bekerja, belum bisa mencari nafkah?

Waktu terus berlalu. Penyesalan tidak bisa merubah yang telah terjadi. Pengantin remaja itu untuk sementara hanya bisa numpang di orang tua. Numpang dalam artian sebenar-benarnya. Segala-galanya. Seratus persen.

Adik ipar saya ini bertengkar seperti anak kecil. Mengadu sambil menangis sesunggukan ke ibu. Jika sakit, minta dipeluk dan dan dipijit ke ibu.  Terutama jika sakit kepalanya kambuh.

Jika ibu memasak di dapur. Dia duduk menemani. Menanyakan ini itu, menyatakan keinginannya untuk pintar memasak seperti ibu. Jika sudah bepergian. Dia tidak akan pulang tanpa membawakan oleh-oleh untuk ayah dan ibu. Bakwan, tahu isi, pisang goreng, buah, atau apa saja yang sesuai dengan kemampuan kantongnya yang sebenarnya sangat memprihatinkan. Hasil dari suaminya yang bekerja serabutan atau belanja yang kadang-kadang dikasi oleh orang tuanya.

Tidak lama kemudian. Adik saya yang nomer 2 dan 3 pun menikah. Yang nomor 2 Istrinya sarjana, yang nomor 3 istrinya D III. Sudah bekerja semua. Seperti istri saya juga. Ideal menurut perhitungan pada umumnya.

Mutiara di Balik Takdir

Seiring waktu terasa ada yang istimewa dari Cahaya. Biarpun dia manja, kekanak-kanakan, tidak pernah mengenyam bangku kuliah, tidak bekerja, tapi dia memperlakukan orang tua kami seperti orang tuanya sendiri. Bukan sebagai mertua.  Terlebih orang tua kami tidak memiliki anak perempuan.

Sampai ibu pernah bicara begini kepada bapak. Seandainya kita dikaruniai umur panjang, saat kita tua renta tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin hanya Cahaya yang bisa kita buat sandaran, merawat kita dengan kasih sayang. Saya malu kalau pada menantu-menantu yang lain.

Kini sudah 4 tahun dia pergi. Sudah 4 tahun sejak terakhir saya menatap wajahnya yang membiru. Di ruangan UGD rumah sakit. Tapi bayang-bayangnya di keluarga kami tidak pernah pudar. Begitu banyak kenangan.

Dia yang tidak kami harapkan kehadirannya. Dia yang membuat kami hampir tidak mau menerima kenyataan. Yang membuat ibu menangis dan pingsan saat dia datang.

Saat masih hidup dia memang salah satu murid saya. Tapi setelah meninggal, dialah guru saya. Kisah hidupnya sangat membekas. Merubah drastis sikap saya terhadap takdir. Ternyata apa yang kita yakini terbaik belum tentu begitu. Begitu juga sebaliknya, apa yang kita yakini akan menjadi sesuatu yang buruk bisa jadi itulah yang terbaik. Seperti dia yang tidak pernah duduk di bangku kuliah, tidak bekerja, kekanak-kanakan, manja. Ditolak kehadirannya. Ternyata adalah mutiara dalam keluarga kami. Tapi sayang Sang Ilahi hanya memberi kami sedikit kesempatan memandang indah cahayanya. Itupun sangat terlambat.

Kisah hidupnya selalu menjadi acuan. Terutama jika ada hal-hal yang terjadi di luar keinginan. Cobaan, derita, kegagalan, musibah dan semua yang menyakitkan.

Salah satunya saat Pilpres kemarin. Sepenuh hati saya memperjuangkan Dahlan Iskan menjadi presiden. Dahlan Iskan sang teladan. Dahlan Iskan sang motivator. Orang yang hebat dan cerdas. Orang yang juga telah banyak merubah pandangan saya dalam hidup ini. Tapi takdir ternyata berkata lain. Jokowilah yang ditakdirkan menjadi presiden. Maka kisah hidup Cahaya membuat saya bisa menerima semua itu dengan lapang dada. Ikhlas. Yang penting saya sudah berjuang dan berusaha. Mungkin dengan tidak menjadi presiden itulah yang terbaik baginya dan bangsa ini. Kita tidak pernah tahu takdir apa yang menunggu Dahlan Iskan selanjutnya.

Jangankan mengetahui yang terbaik untuk bangsa dan negara. Yang terbaik untuk diri sendiri saja kita tidak tahu. Hanya menduga-duga. Dan kadang dugaan itu salah. Entah Dahlan Iskan, entah Prabowo atau mungkin Jokowi. Rasanya terlalu congkak jika harus menyesali kenapa Jokowi yang menjadi presiden?

Sekarang dua mutiara itu telah pergi. Cahaya telah pergi meninggalkan dunia, melebur bersama tanah merah pekuburan di atas bukit kecil. Dahlan Iskan telah pergi dari pemerintahan. Membaur bersama penduduk desa terpencil di tengah-tengah kebun kaliandra. Tapi bagi saya. Mereka tetap ada di sini. Di hati ini. Sebagai mutiara. Cahayanya akan selalu membimbing saya melangkah menyusuri drama kehidupan selanjutnya. Menyaksikan takdir demi takdir yang terjadi. ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun