Pemilihan Turki sebagai mitra dalam pengembangan kapabilitas udara Indonesia bukanlah kebetulan. Turki menawarkan keseimbangan ideal antara teknologi canggih dan kesediaan untuk berbagi pengetahuan.Â
Perjanjian ini meliputi kerjasama komprehensif dalam bidang teknik, manufaktur, dan alih teknologi. Komponen kunci adalah pembentukan infrastruktur dirgantara lokal di Indonesia.
Turki, sebagai negara yang juga menganut prinsip kemandirian strategis, memahami aspirasi Indonesia untuk mengembangkan industri pertahanan domestik.Â
Berbeda dengan kemitraan dengan kekuatan besar tradisional yang sering kali lebih restriktif dalam berbagi teknologi, Turki menawarkan pendekatan yang lebih terbuka dan saling menguntungkan.
Transfer of technology sebagai Prioritas
Aspek transfer of technology dalam kesepakatan ini menjadi elemen yang membedakan diplomasi pertahanan Indonesia dari pendekatan konvensional. Indonesia tidak hanya ingin menjadi pembeli pesawat tempur, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk memahami, memodifikasi, dan bahkan memproduksi teknologi serupa di masa depan.
Konsep ini sejalan dengan visi Indonesia untuk mencapai kemandirian industri pertahanan. Melalui kerjasama strategis, Turki dan Indonesia bertujuan mempromosikan berbagi pengetahuan yang akan memperkuat ekosistem industri pertahanan kedua negara.
Kesepakatan Indonesia-Turki ini mendemonstrasikan bagaimana prinsip non-alignment dapat diimplementasikan dalam konteks modern. Menyamakan gerakan Jakarta dengan orientasi "pro-Beijing" atau "pro-AS" menunjukkan kesalahpahaman fundamental terhadap konsep non-alignment.
Indonesia menunjukkan bahwa diversifikasi kemitraan pertahanan merupakan strategi untuk menghindari ketergantungan berlebihan pada satu kekuatan. Dengan bermitra dengan Turki, Indonesia memperluas opsi strategisnya tanpa harus memilih pihak dalam rivalitas geopolitik global.
Tantangan dan Peluang
Meskipun kesepakatan ini menawarkan peluang besar, implementasinya menghadapi berbagai tantangan. Kontrak menetapkan penyerahan semua pesawat dalam kerangka waktu 120 bulan, yang memerlukan perencanaan jangka panjang dan komitmen berkelanjutan dari kedua pihak.