Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Metamorfosis Perang: Ketika Kekerasan Kehilangan Batas Konvensional

30 Juni 2025   09:49 Diperbarui: 1 Juli 2025   19:56 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Shuttterstock

Serangan terhadap infrastruktur digital, manipulasi narasi media sosial, dan operasi intelijen berbasis algoritma telah menjadi senjata utama.

Kedua, ruang pertempuran tidak lagi terbatas pada wilayah geografis. Konflik Israel-Iran memperlihatkan bagaimana medan perang tersebar di ranah digital, ekonomi, diplomatik, dan psikologis. 

Sebuah serangan dapat dilakukan tanpa kontak fisik langsung, namun memiliki dampak destruktif sistemik dan bisa saja masif. 

Ketiga, strategi perang bergeser dari pendekatan konfrontasi total menuju model proxy war yang canggih. Negara-negara tidak lagi bertempur secara langsung, melainkan menggunakan kelompok milisi, kontraktor keamanan swasta, dan instrumen hybrid warfare untuk mencapai tujuan strategis.

Keempat, etika kekerasan mengalami dekonstruksi total. Prinsip-prinsip hukum humaniter internasional praktis kehilangan relevansi. 

Pembedaan antara kombatan dan sipil, proporsionalitas serangan, serta prinsip kemanusiaan dalam konflik semakin kabur.

Contoh 

Perang siber (cyber warfare) menjadi manifestasi nyata perubahan lanskap peperangan dewasa ini. Serangan siber Stuxnet yang terjadi pada tahun 2010, di mana virus komputer berhasil melumpuhkan fasilitas nuklir Iran, menjadi contoh awal bagaimana perangkat lunak dapat digunakan untuk menyerang infrastruktur vital tanpa jejak fisik sama sekali. 

Dalam konteks perang Israel-Iran 2025, aktivitas siber justru meningkat secara eksponensial: jaringan listrik, sistem transportasi, bahkan rumah sakit menjadi target serangan malware dan ransomware yang melumpuhkan layanan publik, menciptakan kepanikan massal tanpa satu pun peluru ditembakkan.

Serangan-serangan siber tersebut bukan hanya bersifat destruktif, melainkan juga manipulatif. Operasi peretasan dan kebocoran data dipadukan dengan kampanye disinformasi di media sosial, menggiring opini publik dan menciptakan kebingungan di tengah masyarakat. 

Negara-negara pelaku kerap menggunakan kelompok peretas (hacktivist) sebagai proxy untuk mengaburkan keterlibatan langsung, sekaligus menguji efektivitas teknologi dan algoritma baru di medan konflik maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun