Dalam pusaran globalisasi kontemporer, sebuah fenomena menarik kembali mengungkap ironi yang menggelitik. Sebuah pabrik di China telah memproduksi lebih dari 100.000 kaus dan topi bertuliskan "Boycott China" untuk pasar Amerika Serikat (AS).Â
Fakta ini lebih dari sekadar sebuah humor global, tetapi mempertontonkan potret kompleks soal relasi ekonomi dunia. Globalisasi telah menciptakan sistem ekonomi yang begitu rumit dan saling terhubung.Â
Garis batas antara "kita" dan "mereka" menjadi kabur. Produsen di negara yang menjadi target boikot justru menjadi mesin produksi utama untuk narasi anti-negaranya sendiri. Fenomena ini adalah metamorfosa kapitalisme global yang mengejutkan.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana kepentingan ekonomi seringkali mengalahkan ideologi. Sebuah pabrik di China tidak akan ragu memproduksi barang yang secara simbolik menentang dirinya sendiri,Â
Yang penting, ada permintaan pasar dan ada keuntungan ekonomi. Prinsip-prinsip nasionalisme dengan mudah dikalahkan oleh mata uang, khususnya dolar.
Boikot sejatinya adalah instrumen geopolitik untuk menekan kebijakan atau sikap suatu negara. Bagi sebuah negara, boikot adalah senjata penting untuk menekan negara lain, sebelum mengerahkan kekuatan militernya.
Namun dalam realitas globalisasi masa kini, boikot ternyata telah kehilangan makna aslinya. Ketika produk boikot justru diproduksi oleh negara yang hendak diboikot, maka pertanyaan fundamental pun muncul: Apakah boikot masih memiliki arti penting?
Kaus bertuliskan "Boycott China" itu adalah metafora sempurna dari ketidakberdayaan konsep nasionalisme ekonomi dalam tatanan global kontemporer. Ia menunjukkan bagaimana rantai pasok global telah melemahkan batas-batas kedaulatan ekonomi.Â
Sebuah negara tidak lagi dapat sepenuhnya memisahkan diri secara ekonomi, bahkan ketika retorika politiknya begitu gencar melakukan permusuhan terhadap negara lain.