Lebih lanjut, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol keanggotaan komunitas (Wardhaugh & Fuller, 2015). Di Semarang, penggunaan berbagai bahasa dan logat mencerminkan tidak hanya interaksi, tapi juga hirarki sosial dan ekonomi yang terbentuk selama masa kolonialisme dan pasca-kolonial.
Bahkan sampai hari ini, jejak tersebut masih terasa dalam perbedaan dialek antara Semarang atas dan Semarang bawah. Dua zona geografis dan historis itu yang mencerminkan struktur sosial yang diwariskan dari masa lalu.
Tak lengkap membicarakan Semarang tanpa menyentuh makanan tentunya. Kota ini juga dikenal sebagai surga gastronomi lintas budaya.
Lumpia, ikon kuliner kota ini, lahir dari dapur perkawinan antara tradisi Tionghoa dan Jawa. Di satu sisi, lumpia mengandung rebung dan bumbu khas lokal. Di sisi lain, teknik penggorengan dan pelengkapnya mengikuti gaya Tionghoa.
Tak hanya itu, masakan Arab seperti nasi kebuli dan roti maryam juga berkembang di kawasan Kampung Melayu dan Kauman. Jejak kolonial juga bisa ditemukan dalam makanan seperti, bistik lidah dan selat Solo.
Dari catatan Kurnia (2020), kuliner di Semarang mencerminkan “proses adaptasi budaya yang berlangsung secara alami di dapur-dapur rumah tangga dan warung,” bukan melalui narasi besar negara atau institusi.
Karena itu, makanan menjadi ruang perjumpaan yang paling egaliter; sebagai tempat siapa pun bisa menjadi bagian dari interaksi lintas budaya tanpa harus memikirkan status atau asal-usul.
Kota seperti Semarang memang menyimpan banyak lapisan makna. Ia bukan hanya kota pelabuhan yang melayani arus logistik, tetapi juga pelabuhan bagi nilai, identitas, dan cerita manusia.
Arsitektur, bahasa, dan makanan bukan sekadar elemen estetika atau budaya populer, tetapi artefak sosial yang merekam proses panjang interaksi global. Dari sinilah kita melihat bagaimana dunia tidak hanya singgah di Semarang, tetapi tinggal, menetap, dan beranak pinak.
Di tengah arus globalisasi yang kian deras, terutama ketika generasi muda makin akrab dengan dunia digital dan kecerdasan buatan, menoleh kembali ke kota dan sejarahnya perlu menjadi perhatian.
Semarang mengajarkan bahwa menjadi global tidak harus kehilangan lokal. Bahwa menjadi bagian dari dunia bisa dimulai dari mengenali lorong-lorong tua, mendengar sapaan di pasar, dan mencicipi makanan yang lahir dari tangan para perantau.