Lingkungan strategis yang berubah menuntut sikap yang jelas dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Sikap sebuah negara akan menunjukkan sejauh mana kebijakan atau politik luar negeri dari negara itu menegaskan sikapnya terhadap perubahan struktur global.Â
Struktur keamanan global tiba-tiba harus didefinisikan ulang ketika Amerika Serikat (AS) mengumumkan pembentukan Pakta Pertahanan Segitiga bersama Australia dan Inggris.Â
Konsekuensinya adalah tentu saja berbagai negara, termasuk Indonesia, harus merespon aliansi pertahanan AUKUS itu. Respon tersebut sebagai bentuk nyata dari politik luar negeri Indonesia.
Sikap kehati-hatian Indonesia telah disampaikan oleh pemerintah Indonesia. Seperti dilansir beriasatu.com (22/09/2021), pada forum virtual Asia Society kemarin, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mewakili pemerintah Indonesia mencatat bebagai komitmen Australia berkaitan dengan AUKUS. Komitmen itu meliputi janji Canberra untuk tetap menghormati prinsip non-proliferasi nuklir dan hukum internasional.Â
Menlu Retno juga mengkhawatirkan kemungkinan peningkatan perlombaan senjata dan unjuk kekuatan di kawasan, yang selanjutnya berpotensi mengancam stabilitas keamanan kawasan.
Pernyataan itu sebenarnya merupakan respon wajar sebagai wujud dari sikap hati-hati pemerintah Indonesia. Sikap ini juga muncul dalam merespon perkembangan di Afghanistan.Â
Namun demikian, sikap Indonesia masih menimbulkan pertanyaan besar. Apakah Indonesia akan berpihak kepada AUKUS atau netral (tidak memihak AUKUS dan tidak menolak China?0 Atau adakah kemungkinan pilihan kebijakan luar negeri lain yang akan diambil pemerintah Indonesia?
Doktrin Bebas dan Aktif
Sikap hati-hati Indonesia terhadap pembentukan pakta pertahanan AUKUS sebenarnya dapat dipahami. Kehati-hatian tersebut berkaitan erat dengan doktrin politik luar negeri (PLN) Indonesia, yaitu bebas dan aktif.Â