Dalam Sidang Tahunan MPR 2025, Ketua DPR RI Puan Maharani menyinggung soal fenomena unik yang mengisi ruang publik digital Indonesia. Ia menyoroti bagaimana rakyat, khususnya generasi muda, kini menyampaikan keresahan melalui meme, plesetan, hingga simbol budaya populer seperti bendera One Piece. Sepintas, ini memang terdengar ringan dan menggelitik. Namun di balik simbol-simbol itu, ada pesan mendalam yang tak bisa disepelekan.
Kritik yang Berubah Wajah
Jika dulu kritik disampaikan lewat orasi di jalanan atau pernyataan keras di media massa, kini ia hadir dalam bentuk singkat, jenaka, bahkan absurd. Frasa seperti "kabur saja dulu" atau "Indonesia gelap" adalah contoh bagaimana keresahan diolah menjadi bahasa sehari-hari.
Bagi sebagian penguasa, ini mungkin dianggap remeh, hanya sebatas tren internet. Padahal, cara baru ini justru menunjukkan tingkat kreativitas sekaligus keputusasaan rakyat yang merasa bahasa formal sudah tak lagi didengar.
Meme dan simbol pop culture menjadikan kritik lebih egaliter. Ia tak lagi milik segelintir intelektual atau aktivis kampus, tetapi bisa dibuat siapa saja, disebarkan siapa saja, dan dipahami siapa saja. Kritik tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Dalam hitungan menit, sebuah gambar bendera One Piece bisa viral ke seluruh negeri, membawa pesan protes yang jauh lebih kuat daripada sebuah makalah akademik tebal yang hanya dibaca segelintir orang.
Jurang Komunikasi Penguasa dan Rakyat
Fenomena ini sekaligus menyingkap jurang komunikasi antara penguasa dan rakyat. Generasi digital memilih menyampaikan suara melalui metafora anime atau sindiran pop culture karena merasa bahasa politik formal terlalu kaku, penuh basa-basi, dan tidak mencerminkan realitas. Di titik inilah, kritik kreatif lahir. Bukan karena rakyat ingin bercanda, tetapi karena mereka sudah jenuh dengan cara lama yang tak membuahkan perubahan.
Bendera One Piece, misalnya, bukan sekadar dekorasi maya. Ia simbol perasaan kolektif: rakyat seperti bajak laut yang berlayar di lautan penuh ketidakpastian, mencari nakhoda sejati yang bisa membawa kapal besar bernama Indonesia menuju pelabuhan harapan. Begitu pula frasa "Indonesia gelap", yang menjadi metafora sederhana tapi kuat, menggambarkan situasi bangsa yang dirasa tertutup, tidak transparan, bahkan kehilangan arah.
Pesan di Balik Lelucon
Menganggap kritik kreatif sebagai sekadar lelucon adalah kesalahan fatal. Justru, ketika rakyat memilih jalur humor untuk mengungkap keresahan, itu menunjukkan mereka masih memiliki harapan.