Mohon tunggu...
Luca Cada Lora
Luca Cada Lora Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Entrepreneur, vegan & energy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Energi Terbarukan Bukan Satu-satunya Solusi Meredam Kehangatan Bumi

1 September 2017   10:30 Diperbarui: 2 September 2017   01:47 1445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mungkin beberapa hari yang lalu sebuah berita mengenai kebijakan Departemen Energi Amerika yang diliput oleh Econotimes membuat kaget bagi para netizen. Namun di kalangan akademisi atau energy anthusiastmomen ini sudah dapat diprediksi sejak kebijakan Presiden Amerika, Donald Trump, pada 1 Juni 2017 untuk hengkang dari perjanjian "hijau" Paris Climate Conference yang diadakan di Paris pada akhir 2015 silam. 

Perjanjian yang telah ditandatangani 195 negara, termasuk Indonesia, menetapkan sebuah aksi global untuk menempatkan dunia pada jalur yang tepat agar terhindar dari perubahan iklim yang ekstrim dengan membatasi pemanasan global di bawah 2oC. Banyak kata kunci pada perjanjian ini, yang paling utama yaitu mengurangi dan menekan laju emisi gas rumah kaca (GHK). Yang mengejutkan dari berita tersebut tidak lain ialah langkah Amerika ke depan untuk memerangi energi terbarukan, bukan malah memelihara dan melanjutkan para pejuang energi hijau.


Berbagai upaya dilakukan untuk menekan laju pemanasan global, salah satunya dengan penggunaan energi terbarukan. Akan tetapi, tindakan ini hanyalah sebuah preventif yang belum dapat dilakukan secara sepenuhnya karena di sisi lain, dunia terus membutuhkan energi bukan sekedar untuk penerangan, akan tetapi aktivitas industri dan pergerakan ekonomi yang masih mengharuskannya menggunakan energi fosil. Artikel ini bukan memihak kebijakan Amerika, namun menelusuri lebih lanjut apa saja yang telah dunia lakukan di samping mengembangkan energi terbarukan.


Energi terbarukan bukan solusi satu-satunya. Ibaratkan telah berusaha untuk memilah sampah organik dan non-organik, masih saja ada orang yang tidak melakukannya sehingga hal yang dilakukan tidak berdampak secara optimal. Inilah yang menjadi permasalahan saat ini. Berbagai industri baik hulu ataupun hilir yang terus menerus melakukan pengolahan bahan baku dengan meninggalkan jejak karbon, meskipun sudah mencoba menerapkan energi terbarukan dan konservasi energi.

Katakan saja industri gas alam. Mari bicara dengan kasus sederhana, industri pupuk urea. Pupuk merupaka kebutuhan utama industri perkebunan. Proses produksinya tidak begitu sederhana dengan berbagai reaksi sintesa. Bahan baku utama yang dibutuhkan dalam proses ini membutuhkan suplai gas hidrogen untuk direaksikan dengan nitrogen sehingga membentuk ammonia. Ammonia yang dihasilkan kemudian direaksikan lagi dengan CO2sehingga terbentuklah urea. Apakah energi terbarukan mampu memproduksi hidrogen dengan sendirinya ? para pegiat teknologi mampu menjawab, "Pecahkan saja air sehingga terbentuk atom O dan H". Ah tidak sesimpel itu

Hidrogen yang disuplai berasal dari reformasi kukus, yaitu sebuah reaksi yang berlangsung terhadap gas alam (metana) dan uap air. Reaksi ini berlangsung secara endotermal sehinggal membutuhkan banyak sekali energi panas. Gas alam yang diambil dari sumur pengeboran tidak lebih ramah lingkungan dari minyak bumi. Gas yang diangkat banyak mengandung CO2dan pengotor yang berpotensi menjadi GHK. 

Teknologi dan proyek besar harus mampu menyelesaikan masalah ini. Proyek yang disebut dengan Carbon Capture and Storage(CCS) digadang-gadang dapat meredam 90% CO2dengan memompanya kembali ke bawah tanah, langsung dari platform di mana gas alam tersebut ditambang. Selain itu, berbagai proyek CCS dilakukan pada industri-industri yang menghasilkan CO2berlebih dalam proses produksinya. 3 langkah yang dilakukan dalam proyek ini yaitu capture, transport, storage. Pemisahan gas CO2menjadi langkah awal dalam proses ini, lalu gas CO2yang berhasil dihimpun lalu ditransportasikan ke tempat di mana ia akan dibenamkan. 

Proses penginjeksian dilakukan pada kedalaman lebih dari 800 meter atau bahkan 5 kilometer di bawah permukaan tanah dilakukan secara presisi agar CO2tidak akan keluar ke permukaan. Stateoil ASA menjadi perusahaan pertama yang mengimplementasikan teknologi ini di ladang sumur gas Sleipner, North Sea, di sekitar laut lepas Norwegia. Setiap tahunnya, perusahaan oil & gas ini menyimpan 1 juta ton CO2  ke bawah tanah. Saat ini, ada 22 proyek CCS di dunia dengan total kapasitas 40,3 MTPA (million ton per annum)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun