Mohon tunggu...
Lubna Laila
Lubna Laila Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Islamic Comunication and Broadcasting

Feminis garis kawai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semerdekamu, Sen

27 November 2022   01:10 Diperbarui: 27 November 2022   01:15 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika disuruh untuk menjawab pertanyaan, hal apa di dunia ini yang paling mendongkolkan nan unfaedah. Jawabannya adalah prank.
Jawaban ini diperoleh dari pengalaman pribadi yang terjadi untuk kesekian kali dan tidak lucu sama sekali.

Bagaimana tidak?
Kemarin pagi, setelah semalaman hidup nomaden dengan sisa kantuk yang dipaksakan untuk hengkang, Aku tergopoh-gopoh pulang ke asrama, guna mandi. Bersiap-siap menuju kampus demi ikut mata kuliah Literasi Media yang diampu oleh Dosen jenaka bernama Bu Atipa.

Seperti perempuan pada umumnya, butuh waktu yang tidak sebentar sampai siap berpenampilan menyenangkan untuk dipandang, dan pede untuk diperlihatkan. Ya, sebagai perempuan yang mencintai diri sendiri, esensi mempercantik rupa tidak serta merta untuk menarik lelaki. Namun semacam naluri keharusan untuk merawat apa yang sudah Tuhan beri.

Aku pernah membaca artikel yang diterbitkan di kompas, Pakar citra tubuh dan terapis, Temimah Zucker, mengatakan rutinitas kecantikan memang bisa meningkatkan kesehatan mental.

 "Saya mendorong klien untuk mendapatkan makna dari make up. Mungkin saja warna lipstik yang bold bisa mewakili seberapa kuat kata-kata dan pikiran. Atau mungkin concealer bukan hanya untuk menutup noda di kulit, tapi menyadari bahwa sebagian orang tidak bisa melihat diri kita apa adanya," kata Zucker.

Ia mengatakan, aspek kreatif dari make up juga bisa menjadi mood-booster yang efektif.

"Dengan membuat penampilan yang berbeda, mengombinasikan, atau mencampur warna, kita bisa mempraktekkan kreativitas dan seni, dua hal yang dibutuhkan untuk menghadapi gangguan mental," katanya.

Dari sini indikasinya jelas, demi stabilitas mood selama duduk di bangku perkuliahan Aku perlu mandi sampai bersih dan wangi, memakai deodorant rasa stowbery, handbody aroma melati, skin care muka yang membuat ekspresi nampak berseri, serta memilih out fit yang serasi.

Kurang lebih delapan puluh dua menit cukup untuk melakukan rutinitas tersebut. Pukul 08.30 kelas dimulai. Sementara sekarang masih pulul 06.47 masih ada sepersekian menit untuk menuju kampus guna mengikuti kelas.

Demi melihat di ruangan mana kelas dilaksanakan, Aku membuka percakapan grup whatssapp.

Terlihat nomor Bu Atipa Dosen jenakaku mengetik

''Materi sudah saya upload di GCR, Silahkan subscribe sebagai tanda kehadiran,'' tulisnya.

Untuk memastikan makna ketikan Bu Atipa, aku menghubungi Lugy, teman kelasku, menanyakan keberlangsungan kelas.

''Gy, berangkat LitMed?''

Tidak butuh lama, pesanku terjawab.

''Ndak masuk Na, cuma ada tugas dan absen secara online.''

Aku menghela nafas lega. Meskipun sebetulnya tidak benar-benar lega, cenderung kesal dan kecewa, sebab Aku sudah secantik ini sangat sayang jika tidur lagi, apalagi semester limaku benar-benar sedang kacau-kacaunya.

Tersebab, tujuh mata kuliah yang presensi kehadirannya rawan ''game over'', tanggung jawab organisasi yang kian meninggi, kegiatan asrama yang tak pernah sinkron dengan akademis, tuntutan buat lekas wisuda, keadaan finansial yang kian menipis, dan sekian persoalan lain datang secara keroyokan sampai mentalku babak belur.

Jadi, aku tidak mungkin melewatkan begitu saja bila ada mata kuliah yang ditinggalkan secara cuma-cuma, selama ini aku mati-matian terpelanting mengatur management agenda, mengatur skala prioritas, agar terselamatkan segala rencana. Yeah meskipun pada akhirnya Aku kerap terlunta-lunta dan hampir di ambang tepi jurang putus asa.

Tapi...

Aku telah berjanji untuk tidak menyerah, dalam skenario kehidupan kampus. Aku punya musuh bubuyutan dari semenjak maba. Namanya Sura, ia adalah pejabat Lembaga Kemahasiswaan, ketua himpunan prodi tetangga.

Ia rivalku sepanjang berproses, setiap kali aku hendak menyerah, terbayang senyum miring mengejeknya yang menyebalkan, meremehkan, menyepelekan.

Aku sunggunglah benci dengan sorot matanya yang penuh ambisi dan sok keren itu. Setiap kali Aku gagal, Aku sering mengumpat:

 ''Realitas memang brengsek.''

Lalu Sura akan menyeletuk dengan tatapan mengejek ''Iya, karena kamu lemah jadi harus terima. ''

Dengan kesal, Aku membalas '' Besok Aku bakal lebih brengsek.''

Sura menggeleng, melambaikan tangan tanda tidak sepakat. ''Lebih keras aja, jangan lebih brengsek.''

Astagaa, demi tidak melihat wajah penuh kemenangannya itu, Aku telah bertekad untuk tidak menunjukan sisi lemahku. Yeah meskipun pada kenyataannya rapuh adalah hal yang lumrah untuk kapasitas manusia.

Sudahlah, berhenti membahas Sura, mari kembali pada alur cerita.

Siangnya, pukul 11.56 hujan turun. Deras sekali. Aku memilih bergelung dibawah selimut, rencananya sampai Adzan Duhur. Sebab, pukul 12.30 ada Mata Kuliah Islam dan Media.

Pada menit ke 59 grup kelas ramai, teman-teman meminta kelas online, berdemo pada PJ Matkul. Aku menyimak sambil mengaminkan.

''Btw, ujan pren.''

''Online aja gaksih?''

''Yeah online.''

''Colek PJ @Simun wkwkwk ''
''Gass lahh.''
Lengang, tidak lagi ada yang mengetik. Selang beberapa saat...
Ngongg!
''Gak dibales sama dosennya.''
''Fiks online.''
''Kesepakatan online yuk, awas aja ya kalo ada yang berangkat aku doain Wudunen.''
'''Libur sih, lebih baik.''
''Iyaa, online. Soalnya ini kan diundur dari jam matkul biasanya, jadi kasian PJ nanti cari ruangan dulu ketar-ketir, yang biasanya tepat waktu aja suka rebutan sama kelas lain.''
Ya, begitulah, mahasiswa Kampus Biru memang terlalu membludak untuk jumlah gedung yang kurang dari kapasitas civitas akademika. Entah karena Kampus Biru yang terlalu sempit, atau karena birokrat terlalu maruk menerima maba. Positive thingking saja, barangkali memang birokrat kampus butuh dana dari UKT Mahasiswa untuk pembangunan insfrasruktur karena baru saja peralihan nama. Jadi perlu banyak masa.
Eh maksudku, perlu banyak sumber daya manusia yang dididik intelektualitasnya, jadi meskipun sudah melampaui kouta penerimaan maba, masih saja di terima. HEHE!

Maaf cuma bercanda. Enggak lucu ya? Bercanda seharusnya lucu ya bukan menyakitkan?
Mendengar kabar tersebut, dengan kondisi badan yang cukup lelah, Aku mulai mengantuk. Terninabobokan informasi, santai saja scrool animasi tekotok yang kawai dan sarkas. Sampai pada akhirnya terlelap.

Pukul 13.05 Aku dibangunkan oleh rekan kamar untuk sholat duhur, sembari menunggu nyawa terkumpul, Aku melirik ponsel, mengintip WhatsApp.

Jantungku hampir meloncat dari tempat semestinya, setelah membaca pesan di menit-menit akhir sebelum jam mata kuliah, ternyata Dosen tidak mengizinkan untuk online, dan kelas di gelar secara ofline. Aku benar-benar kehabisan kata-kata, tidak murka-tidak pula bergeming, mukaku datar.
Sedatar empati manusia-manusia yang tak pernah mengerti apa yang telah Aku lalui. Aku salah ya? Tapi Aku Denial atas perspektif menyalahkan ini.

 Mari kita bermain dengan waktu sejenak, mundur beberapa moment lalu. Masa di mana Dosen dengan semerdekanya masuk kelas tanpa terdeteksi waktu, jika hari ini ada agenda maka semerdekanya ia undurkan jadwal. Jika ada perkara insidental, maka mahasiswa dengan penuh etika seharusnya sepakat untuk adaptif dengan perkara itu, harus maklum, harus tunduk.

Iya, itu memanglah bukan budaya yang buruk. Dan sudah turun menurun, sebab jika mahasiswa melanggar dan menyatakan tidak sepakat dengan sekte tersebut ia akan terlabeli suuladab.

Lantas bagaimana jika hal keadaannya terbalik?
Seperti yang Aku alami hari ini, Aku me-loby salah satu oknum Dosen yang jelita. Dengan template loby-an yang sudah sesuai dengan etika dan estetika sebagaimana mestinya, Aku menawarkan tambahan tugas untuk mengganti presensi yang tidak aman.

Lalu bagaimana balasan beliau? Beliau mengetik dengan huruf kapital.
''TIDAK BERKENAN.''
Skakmat, game over, sudah tidak ada lagi pemakluman. Aku tersenyum joker. Mengscreenshoot chat tersebut, mengirimnya pada sahabat baikku: Alya.
''Al, kelak kalo kamu jadi Dosen. Jangan kaya gini ya, kasian mental mahasiswanya.'' tulisku di room chatnya.

Aku merenung, mencoba memaknai pesan moral dalam kejadian ini. Mencerna hikmah, melatih kelegowoan batin, namun tetap saja dalam hati terkecil ada teriakan pembenaran yang tak akan pernah sanggup Aku utarakan.

''Wahh, realitas ternyata tidak hanya brengsek. Ia juga hobi merangkai skenario prank kehidupan, tapi konten realitas tak menghiburku sama sekali.''
Puncak komedi, Aku tertawa tapi menitikan bulir bening. Tersenyum joker.
Ting!
Satu pesan baru masuk, lekas kubuka karena kukira itu balasan dari Alya. Ternyata bukan, pesan dari musuh bubuyutanku.
''Haha! ''
''Aku kembali. ''
''Panggil Aku genius si pemberani. ''
Aku sampai lupa terakhir chat apa dengan manusia paling langka satu ini, tapi demi tidak melihat wajah mengejeknya yang barangkali menggores relung gengsiku, Aku bertekad untuk tidak sudi menyerah.
 
''Sura, Aku gak bakal sudi kalah progress darimu.''

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun