Beberapa waktu terakhir ketika saya sedang membuka aplikasi Instagram, mulai banyak usaha yang berlabel “halal”. Selain makanan, cap “halal” juga tertera pada bisnis fashion, perawatan tubuh, perbankan dan masih banyak lagi, baik di ibukota maupun kota-kota kecil. Hal ini menunjukkan bahwa halal, saat ini sudah menjadi gaya hidup atau lifestyle, terutama bagi masyarakat Indonesia.
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) bahkan menjelaskan bahwa label “halal” saat ini semakin dekat dengan kehidupan sehari-sehari, di mana tak hanya berlaku bagi makanan dan minuman tetapi juga fashion dan wisata. Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “halal” berarti diizinkan (tidak dilarang oleh syarak yakni hukum yang bersendi ajaran Islam atau hukum Islam).
Dari penjelasan tersebut, diketahui bahwa produk yang memiliki label halal dinilai menjamin keamanan gaya hidup umat Muslim. Meski demikian, jaminan keamanan produk berlabel halal tak hanya berlaku bagi umat Muslim tetapi juga semua umat beragama di Indonesia. Demikian disampaikan Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag RI, Mastuki pada Jumat malam, 25 November 2017.
Namun siapa sangka, meski gaya hidup halal di Indonesia menjadi nomor satu, jumlah produsen produk halal di Tanah Air masih kalah dibandingkan negara-negara lain. Istilahnya, “pemain” produk halal masih belum banyak. Produk kosmetik halal Indonesia saja baru berada di peringkat empat dunia, sedangkan produk keuangan halal Indonesia berada di peringkat sepuluh dunia.
Dari data tersebut, kita dapat mengetahui bahwa peluang bisnis halal masih sangat terbuka di Indonesia. Belum banyaknya pemain tentu membuat persaingat tidak terlalu ketat. Namun kesadaran kita mengenai besarnya produk halal bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, peluang ini sudah ditangkap lebih dulu oleh banyak negara, seperti Arab Saudi, Malaysia dan Dubay.
Bahkan, beberapa negara non-Muslim tertarik untuk menggarap pasar bisnis yang satu ini. Sebut saja negara-negara seperti Thailand, Jepang, Tiongkok dan Amerika Serikat. Kelima negara tersebut juga mendapatkan julukan masing-masing terkait produk halal. Thailand dikenal sebagai halal kitchen on the world, Jepang dikenal sebagai the key economic contributor of halal industry, Tiongkok dikenal sebagai the export control clothes in the middle east dan Amerika Serikat dikenal sebagai the highest modest clothing export.
Selain kelima negara di atas, Australia dan Brazil telah menata dirinya untuk aktif menggarap pasar produk halal. Australia bertekad menjadi the largest supplier halal beef to the Organization of Islamic Conference (OIC) sedangkan Brazil menginginkan negaranya menjadi the largest supplier of halal poetry to the middle east.
Menanggapi gesitnya sejumlah negara yang memanfaatkan peluang gaya hidup halal, Kemenag RI berencana menjalin kerjasama dengan sejumlah pihak untuk mendukung berkembangnya produk halal di Tanah Air. Tak berhenti sampai di situ, Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga akan melihat sebaran para pelaku produk halal di Indonesia. Hal ini dilakukan menyikapi rencana pemerintah yang akan mewajibkan pemberian label halal pada semua produk pada tahun 2019 mendatang.
Pemberian label halal itu sendiri tentu tidak asal. Untuk bisa mendapatkan label tersebut, produk harus diuji dan diberi sertifikat halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mengetahui hal ini, mungkin sebagian pelaku usaha berpikir sejenak, “Kira-kira berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk mendapatkan label halal tersebut? Biasanya lama ya? Prosedurnya panjang ya? Kalau waktunya lama, malas ah kalau harus mengikuti sertifikasi.” Namun hal ini sudah ditepis lebih dulu oleh Mastuki. Pihaknya menjamin bahwa proses sertifikasi halal akan tuntas dalam waktu 62 hari, selama pelaku usaha mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Perwakilan MUI Malang, Dr. H.A. Muhtadi Ridwan menjelaskan, jaminan produk halal di Indonesia bermula ketika K.H. Hasan Basri menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya campuran babi dalam produk pangan pada tahun 1998. Maraknya isu tersebut jelas membuat penjualan makanan menurun. Agar masyarakat tidak semakin resah, MUI pun bergerak menenangkan mereka dengan memberikan edukasi tentang makanan halal. Jaminan Produk Halal (JPH) tersebut bertujuan melindungi dan menentramkan umat, bahkan hingga saat ini.