Sejak SMP, saya punya kebiasaan menulis diary berbahasa Inggris. Saat itu, alasannya sepele. Agar orang lain, termasuk orang tua (hehehe), tidak mengerti apa curahan hati saya. Kalau pun si pembaca itu bisa berbahasa Inggris, tentu ia membutuhkan waktu untuk memahaminya. Tidak bisa langsung paham, seperti kalau saya menggunakan bahasa Indonesia.Â
ilustrasi (sumber: republika.co.id/)
Selain itu, saya punya kebiasaan ngoceh atau berbicara sendiri saat mengemudikan sepeda motor. Mungkin karena saya tidak betah berdiam diri lama-lama, biasanya saya menceritakan apapun dalam bahasa Inggris saat sedang berkendara. Mata tetap awas dengan lalu lintas jalan raya, namun mulut tetap berbicara layaknya saya menjelaskan sesuatu kepada orang lain.Â
Apa saja bisa menjadi pokok bahasan, mulai jalanan yang macet, kuliner yang enak, atau pengalaman bertemu orang yang berbeda. Yang penting, speak in English sajalah! Oya, kalau menerapkan hal ini, jangan lupa tutup masker helm-nya ya supaya tidak dikira pengendara lain sedang gila, hihihi…
ilustrasi (sumber: youthministry360.com)
Layaknya hubungan asmara sepasang kekasih yang bisa naik-turun, mempraktikkan bahasa Inggris secara efektif juga tidak mudah. Saya tidak asal menuliskan ini tetapi juga merasakan ‘kesakitan’ itu. Saya harus mengorbankan waktu bermain dengan belajar. Saya harus menyisihkan sebagian uang untuk membeli buku bahasa Inggris dibandingkan membeli komik. Saya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) pun harus rela sekelas dengan kakak-kakak sekolah menengah atas (SMA).Â
Namun rasa perih itu terbayar menjadi hal yang manis. Saya tidak usah ragu ketika harus presentasi berbahasa Inggris. Pun tak lagi grogi ketika harus mewawancarai narasumber bule di lapangan, kini.
Keep spirit !
Bandung, 11 Juli 2016 Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana