Mohon tunggu...
bunda putri
bunda putri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Blessed and created by Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mama, Karena Engkaulah Kukenal Kebencian

27 Februari 2015   12:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:26 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di usia ku yang ke 30 tahun ini merupakan usia titik balik bagiku atau usia kilas balik?

Menjadi seorang ibu adalah sebuah pilihanku dan kepercayaan dari NYA. Mengingat sosok ibu (mama) di mataku kurang mendapat kesan baik. Sungguh durhaka aku, itu lah penilaian beberapa orang tentangku yang sudah dapat dipastikan mereka tidak tau apa yang kujalani 15 tahun silam. Tepat separuh usia ku saat ini, kenangan yang tak pernah ada niat untuk mengingat apalagi menyimpannya. Beberapa kali ku coba menghapus ingatan-ingatan masa laluku, entah file mana dari diri ini yang tidak bisa menghapusnya.

Pagi itu adalah hari raya idul fitri, bagiku yang merayakannya pasti aku akan bangun pagi dan bersiap-siap ke tanah lapang untuk menunaikan sholat ied. Ritual lebaran (ini ritual kebudayaan, bukan salah satu dari kewajiban di idul fitri) dijalankan sedikit istimewa. Papa yang nyidam liburan punya kesempatan untuk berlibur ksana (padahal kondisi papa blm sehat dan ritual cuci darah tetap dijalani 1 minggu sekali). Singkatnya seluruh keluarga besarku pergi ke pulau dewata itu menggunakan mobil pribadi. Kebahagian itu terusik ketika sampai dibali ada "penerima tamu" yang sangat aku kenal, dialah si om teman laki-laki mama yang menginap berhari-hari dirumah saat papa sedang opname di rumah sakit. Si om di delegasikan mama sebagai "tour guide" selama di bali (menurut mama karena om tinggal kos disana). Mobil keluarga intiku dikemudikan oleh si om, dari posisi duduk ku dibelakang papa tampak terlihat menahan suatu perasaan yang ditutupi dengan perbincangan dengan si om. sudah 2 hari kami berlibur di pulau indah ini, dan hari ini papa pamit untuk pulang terlebih dahulu karena harus menjalankan rutinitas cuci darahnya. Papa pulang dengan bis antarkota, kami (si om, mama, adek) mengantarkan papa ke terminal. Sepulangnya mama yang tak usah ijinku lagi berpindah tempat menggantikan posisi papa, sedang adek yang sedang gandrung dengan kebut-kebutan berpindah ke mobil ke salah satu mobil saudara yang jago ngebut dijalanan. Bali sudah tidak "seindah" biasanya di hadapanku, tepat dihadapanku pemandangan yang membuat ku jijik. Mama dengan tidak sungkannya berpegangan tangan dengan si om dan sesekali mengusap manja pipi si om. Ooh Tuhan mungkin mama benar-benar ingin menularkan virus "kematian" buatku, apa rencana mereka sampai ku diperlakukan bodoh seperti ini. Pantai kuta yang biasanya selalu mengesankan kali ini terlihat buram buatku, pemandangan yang dipamerkan kali ini semakin membuatku mual, selayaknya muda-mudi kasmaran menikmati pemandangan pantai kuta sore itu bergandengan mesra serasa tidak ingat ada perasaan seorang anak perempuan yang sedang sesak, mual dan bergidik melihat mama (seorang ibu yang seharusnya memiliki hati perasaan yang lembut, seorang ibu yang biasanya selalu "mengibati" rasa sakit dari anaknya..yaa itu definisi ibu yang biasanya dicerminkan oleh beberapa quote) yang sedang "jatuh cinta" setengah mati dengan "teman laki-laki"nya yang beberapa pekan lalu menginap dirumah tanpa rasa malu, disaat suami (yang kutahu papa masih suami mama yang sah..paling tidak didepanku) nya sedang meregang nyawa melawan kedua ginjalnya yang tidak berfungsi. Dan hanya mesin-mesin hemodialisa itu papaku menggantungkan separuh nyawanya. Kubayangkan dikejauhan dikota lain, diseberang pulau indah ini ada papa yang sedang terbaring dengan beberapa selang terhubung ditubuh, disamping mesin yang tidak berhenti berputar sampai batas waktu tertentu. Ketika ku mendengar gelungan ombak yang menatap bibir pantai dalam kepalaku tergambar nyata ada suara mesin "bip..serg..bip..serg..bip.." disamping seorang ayah yang mungkin saat ini sedang menikmati lemper ayam kesukaannya. sepertinya tak perlu ku definisikan kepingan rasa di dadaku, bahkan sebuah kapal karam yang berkarat itu jauh lebih baik dari gambaran sesak di dada ini.

Siang ini matahari lebih terik dari hari kemarin, terik yang juga membakar hati mama. Kuingat benar kejadian yang sangat..sangat..sangat..tak sanggup ku gambarkan. "Bawa mayat hidup, laki-laki tidak berguna, kaya mayat, kaku, bau bangkai, kapan saatnya kamu benar-benar jadi mayat dan tidak merepotkan" teriakan yang sangat ku kenal dari mana sumbernya, dan aku tak perlu mencari jauh sumber makian itu. Dia adalah wanita hebat yang mampu memimpin beberapa bawahan-bawahan dan melemahkan "konsumen" dalam pencapaian target penjualan sebuah produk, wanita hebat yang tidak pernah gentar dengan apa saja, wanita hebat yang akan berteriak lantang kepadaku dan papa karena "kebodohan" dan "kesalahan" kami, wanita yang mempunyai rasa "cinta" yang berlimpah tapi bukan buat kami. yaa Tuhan kau mengirim kami wanita yang benar-benar hebat, kuat, tangguh dan tak terkalahkan bagi kami, yaa Tuhan wanita hebat ini terlalu hebat bagi kami, kami yang lemah ini apa pantas kau berikan wanita sehebat MAMA. Mamaku yang hebat sedang berdiri dengan "anggun" di teras rumah dengan riasan dan pakaian rapi serta harum parfum yang selalu tertinggal meski telah ditinggalkan tuannya. Ku papah perjalanan papa ku yang tertatih, matanya berkedip menyiratkan kepasrahan dari setiap makian. Tubuhnya yang dulu menopangku kini tertopang lemah kepadaku. Ooh Tuhan gantilah kesakitan dan kepedihannya denganku. Kutahankan sekuat tenaga menahan air mata ini keluar yang kekuatan menahannya melebihi topangan beban laki-laki "lemah" 75kg dipundakku saat ini. Sebuah mobil p*****r merah menderum bunyi mesin yang menunggu penunggangnya menginjakkan kaki di pedal gas. Kumasukkan papa yang sedang tidak berdaya dengan menjatuhkan tubuhnya, mendorong kakinya (aku tau pasti dia sedang menahan rasa sakit di balik kaki nya yang bengkak dan menghitam), kutarik masuk dari arah berlawanan dengan daya upaya, ku tahankan bibir ini berucap "tolong", suasana yang terik ditambah pakaian dan riasan rapi, mama tidak suka berkeringat, ku sadar betul hal itu dan aku tidak ingin menimpahkan "beban" lagi, yang dapat mengancam tujuan kami ke rumah sakit (bukan kami secara utuh. Aku dan papa hanya menumpang sampai jalan besar tempat biasanya taxi mangkal). Mama yang cantik seorang wanita karier sukses sedang duduk merapikan riasan, dibalik kemudinya. Matanya melirik ke cermin tengah untuk melihat keadaan "amburadul" dikursi belakang "sudah?mayat hidup..aku kaya bawa mayat hidup" sapa mama. Ku masukkan semua tubuh papa, yang sangat ku sadari posisi nya sungguh tidak nyaman pastinya, suara nafasnya terdengar berat, bibirnya digigit menahan sesuatu, tangannya mencengkeram kaki bengkak dan menghitam. Tuhan adakah keajaiban yang menukarkan posisi itu, biar aku yang menanggung sakit nya saat ini. Dengan beberapa cacian yang tiada henti, bibir penuh gincu itu meluapkan semua kata-kata "busuk"nya. Aku hanya bisa terdiam, kulihat papa juga terdiam mengunci rapat bibirnya yang sedang "tergigit" untuk menahan rasa sakit yang aku tidak tahu entah rasa sakit itu dari fisik lemahnya atau dari dalam dada yang juga aku alami saat ini. Tanpa bantahan, tanpa argumen, tanpa balasan membuat mama tiba-tiba menghentikan laju mobil ini. "Keluar kamu..atau aku seret keluar..p***i seret papamu keluar dari mobil. Mama ga mau mobil ini bau mayat hidup" titahnya padaku " maa..tolong antar kami sampai ke tempat taxi depan saja. Di luar panas..mama mau aku menyembah mama?" kubungkukkan tubuhku menyentuh sepatu mahal miliknya "p***i mohon maa" rengekku

"Oke..sekarang giliran mayat hidup itu yang nyembah" jarinya menunjuk kearah papa. "Aku mohon ma..antarkan kami kepangkalan taxi depan, maaf aku tidak bisa bersujud, menahan posisi seperti ini saja aku sakit..aku sujud maa sama kamu" sembah papaku.

Pertahanan membendung air mataku sudah jebol membanjiri seluruh wajahku yang berpeluh. "Ngapain nangis? Ga usah nangis kalo ga rela kalian berdua pergi saja nggelandang sana. Aku ga butuh!!" Tanya akrab mama ke aku. Sekuat tenaga ku bendung tangis ku, ku tahan suara isak ku yang bisa mengacaukan suasana ini. "Keluaaarrr!!!" Perintah mama ke kami setibanya di pangkalan taxi. ku tarik tanpa arah dan mempedulikan mimik kesakitan papa, ada tangan laki-laki paruh bayah yang membantu ku menarik tubuh papa, supir taxi itu dengan sigap menurunkan papa, mengambil kursi roda di bagasi mobil yang terbuka dan membantu memapah menuju taxi nya. Tanpa aba-aba jelas saja mobil tumpangan kami pun melaju yang aku juga tidak peduli kemana arahnya. Kurebahkan tubuhku di kursi penumpang, "ke rumah sakit umum ya pak" pintaku "siap mbak..seperti biasanya yaa" sapa akrab supir taxi di kursi singgasanya. "Kita langganan ya pak?" Sambungku "kemarin kan saya yang anter mbak..lupa yaa?sekarang turun ugd lagi mbak?" Tanya supir taxi.."oow ga pak sekarang di gedung hemodialisa yaa" pintaku. Taxi melaju dengan santai tiupan AC di dalam mobil membawa kesejukkan sendiri dari hariku yang "terik" tadi. Kulihat papa bersandar santai dan mengatur nafas kelegaannya seperti pelari marathon yang melepas lelah setelah pertandingan berat.

Kesehatan papa sudah sangat menurun sekarang. Di dalam kamar 3x4 kami, papa yang sedang duduk di pinggiran dipan, menatap kalender tahun 1996 bulan maret, membuka obrolan "beberapa hari lagi papa ultah ya nduk?" Tanyanya padaku yang saat itu sedang membaca buku pelajaran di kursi kebesaranku. "Iyaa..pa tau kok..papa umur berapa tahun ini?"

"41 tahun sepertinya..semoga bisa temani kamu paling tidak sampai kamu menemukan suami..papa kepikiran gimana klo kamu papa tinggal. Sikap mama mu itu sempat membuat papa merasa ingin mengganti ibu yang sabar dan lebih baik buat kamu..yaa paling tidak kamu tidak disiksa lagi..papa kasian kamu harus dipukuli seperti itu, padahal kamu anaknya. Tapi kamu seperti pembantunya, bangun dini hari buat beres-beres rumah karena ketakutan besok dipukuli jika ibu mu terbangun tapi keadaan rumah tidak sebersih keinginannya. Padahal kamu juga harus sekolah pagi harinya. Kamu disekolah ga ngantuk?"

Ku hampiri papa ku, ku duduk tepat disampingnya "papa ngomong apa siih..ga penting..papa ku dengar dari beberapa omongan orang ginjal yang rusak bisa diganti ginjal pendonor..dan organ donor itu pasti akan diterima dengan baik jika dari keturunannya langsung..hadiah ultah papa tahun ini ambil ginjalku paa yang satunya..aku bisa hidup dengan satu ginjal kan? toh aku sehat..dan aku ga mau punya pacar, papa aja itu cukup buatku, mama yang ini juga gak apa-apa kok pa" rajukku sambil memeluk tubuh nya yang sudah sangat rapuh dan kurus. "Huuush..ga boleh ngomong gitu. Papa ga akan mengambil apapun dari kamu. Sekalipun umur papa panjang karena mengambil sesuatu dari kamu itu sama seperti papa memperpanjang usia tapi papa makan darah daging papa sendiri..kamu itu reinkarnasi papa..kalo pun papa mati..separuh papa sudah ada di kamu nduk..kmu jadi anak yang baik, pahami agamamu..kita kan islam jadi ya harus jadi orang islam yang benar..kamu anak tertua jaga adikmu jangan sering marah sama dia. Ga boleh ngiri sesama saudara, ingat jika separuh papa ada di kamu, separuhnya lagi ada di adik mu..cari suami yang baik..doa papa kamu semoga dapat suami yang sangat sayang sama kamu dan anak-anakmu..kalo mama kawin lagi, gak apa-apa tapi jangan sama si "termos" yaa (sebutan papa buat si om)"

Ku selah perkataan papa yang makin kacau "ga mau bahas hal ga penting..papa itu akan berumur panjang..sampai aku punya anak". Kalimat ku pun sengaja dipotong sama papa "kamu sudah besar nduk..seragam SMA mu saja sudah jadi, papa merasa ga lama lagi..papa pengen kamu benar-benar jadi anak yang doanya di dengar ketika papa mati. Kamu anak yang kuat dan pintar, jika mama masih sering pukul kamu. Maafin saja" kusela lagi "duuh..papa ini mati..matii..matii..teruus yang dibahas, papa panjang umur sampai aku punya anak..TITIK!!" sambarku.

"Papa juga berharap bisa jadi wali nikahmu kelak..berdoa biar papa kuat yaa" pintanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun