Mohon tunggu...
elde
elde Mohon Tunggu... Administrasi - penggembira

penggembira....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT Romi Dejavu PPP Saat Pilpres

15 Maret 2019   15:43 Diperbarui: 15 Maret 2019   16:45 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KPK di jaman rezim Jokowi kembali menunjukkan taringnya dalam hal penegakan hukum. Tidak pandang bulu menangkap siapa saja dari kubu mana saja selama diduga kuat telah melanggar tindakan hukum terkait korupsi. Tidak segan akan memenjarakan elit-elit politik bahkan Ketua DPR seperti Setyo Novanto yang dikenal "untouchable".

Tudingan bahwa hukum tajam kebawah tumpul keatas terbantahkan sendirinya. Jokowi tidak ada sama sekali menggunakan kekuasaan untuk meng-intervensi masalah hukum. Memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi penegak hukum, tidak terkecuali KPK, untuk menjalankan kewajibannya dalam pemberantasan segala tindak pidana termasuk korupsi. 

Asumsi yang dibangun oleh kelompok tertentu lewat propaganda bahwa elit-elit politik yang merapat ke Jokowi karena bermasalah hukum dan akan dilindungi, tidak terbukti sama sekali. Jokowi tidak akan mengkhianati komitmennya dalam penegakan hukum dan melakukan barter politik demi kekuasaan. Mempersilahkan semua proses hukum dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku walau itu menyangkut orang-orang di kubunya.

Hari ini publik dikejutkan dengan OTT oleh KPK di Kanwil Kementerian Agama Sidoarjo Jawa Timur. Tapi update berita baru mengatakan kejadiannya di Hotel Bumi Surabaya. Bukan sembarang orang yang ditangkap, tapi ketua umum PPP, Romahurmuzy. "Jumat keramat" istilah populer bila KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, kali ini memakan korban politikus muda, Romi.

Praduga tak bersalah memang harus dikedepankan, tapi bila KPK sudah melakukan OTT, dari rekam jejaknya selama ini bisa dibilang hampir 100% korban akan dijadikan tersangka setelah menjalani pemeriksaan. Kasus dan peran apa yang akan menjerat Romi, sampai saat ini masih menjadi teka-teki. Namun yang jelas tidak ada kaitannya dengan pilpres dan statusnya di TKN Jokowi-Ma`aruf.

Soal berurusan dengan KPK, sebelumnya Romi sempat dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Yaya Purnomo dalam kasus dugaan suap terkait usulan dana perimbangan daerah di dalam Rancangan APBN Perubahan tahun anggaran 2018. Namun kelanjutannya sampai sekarang tidak ada kejelasan.


Semacam "kutukan" bagi PPP menjelang digelarnya pilpres. Publik kembali diingatkan kejadian tahun 2014 dimana saat itu ketum partainya juga dijadikan tersangka oleh KPK. Suryadharma Ali yang juga sebagai Menteri Agama di era pemerintahan SBY terbukti menyalahgunakan jabatannya selaku menteri dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013 dan dalam penggunaan dana operasional menteri.

Dalam persidangan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan. Kasasi yang diajukan ke Pengadilan Tinggi ditolak bahkan vonis diperberat menjadi 10 tahun penjara ditambah mencabut hak politiknya selama 5 tahun setelah menjalani masa hukuman.

Dalam Pilpres 2014, SDA menjadi salah satu pendukung Prabowo-Hatta. Waktu itu Prabowo sempat memuji kinerja Suryadharma sebagai Menteri Agama. Menilai, penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama setiap tahunnya sudah sangat baik. Namun fakta berkata lain. Penilaian Prabowo terbukti salah besar karena SDA ternyata menyalahgunakan wewenangnya dan harus masuk bui.

Apabila nantinya Romi terbukti bersalah dalam OTT yang dilakukan oleh KPK, akan menambah deretan nama ketua umum partai yang terjerat kasus korupsi. Berawal dari Anas Urbaningrum, mantan ketum Demokrat, terbukti bersalah dalam kasus proyek Hambalang dan penyalahgunaan APBN. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan dan malah memperberat hukumannya. Candi Hambalang sampai saat inipun masih menjadi "cagar alam" peninggalan rezim SBY yang akan selalu dikenang oleh rakyat.

Mantan Ketua Umum PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, dijatuhi pidana 16 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi. Banding yang diajukan ditolak oleh MA bahkan hukumannya ditambah menjadi 18 tahun. Ahmad Fathanah koleganya, saat digerebek KPK ditemukan juga cerita adanya seorang perempuan dalam kamar bersamanya. Kasus LHI memunculkan plesetan di media sosial menyebut PKS sebagai Partai Korupsi Sapi pun menjadi ramai.

Selanjutnya Setya Novanto Ketua Umum Golkar dan juga ketua DPR. Orang yang dikenal sulit disentuh hukum ini walau beberapa kasus sempat mengaitkan namanya namun selalu lolos. Akhrnya di bawah pemerintahan Jokowi, hukum bisa ditegakkan dengan benar dan transparan. Kasus korupsi e-ktp tahun 2009 mengantarkannya ke jeruji penjara selama 15 tahun. Tidak mengajukan banding karena kemungkinan khawatir malah akan diperberat hukumannya.

Dari semua kejadian ini pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa partai berbasis agama tidak semuanya diisi oleh orang-orang suci. Apalagi sampai menggunakan diksi sebagai partai Allah seakan representasi dari yang Maha Kuasa. Masih banyak perilaku oknum-oknum didalamnya yang justru bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Tidak berbeda dengan partai lain di Indonesia. Bukan hanya sebatas korupsi yang dilakukan, tapi tindakan kekerasan, kelakuan seks yang menyimpang, mengumbar fitnah dan lainnya masih sering kita dengar....

Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun