Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ini Rasanya Lima Jam di Bromo

28 Juli 2014   04:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:00 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_335407" align="alignnone" width="600" caption="Bromo dari Pasir Berisik (trilokon)"][/caption]

Wonderful Indonesia! Begitulah semangat saya dalam perjalanan menuju Gunung Bromo, liburan sekolah yang lalu (25/6). Bagi saya, liburan adalah saat yang paling tepat untuk menikmati dan mencintai keindahan alam yang telah diciptakan Tuhan. Indonesia itu indah, kawan!

Berangkat dari Semarang sebelum fajar menyingsing. Mesin Kijang G sudah panas. Semua peralatan untuk melawan dingin, sudah masuk mobil. Kota Pasuruan mengucapkan selamat datang di sore hari. Lalu, berhenti sejenak untuk mengisi perut. Roda mobil bergerak lagi ke Probolinggo. Sebelum memasuki kota, tepatnya di Tongas, kami belok kanan menuju jalan ke arah Cemorolawang. Hanya 34 km, jaraknya.

Semburat langit merah senja di balik perbukitan, mengawal kami saat mencari homestay. Dituntun oleh warga akhirnya villa Biru dengan fasilitas dua kamr tidur, dapur, kamar mandi dan ruang tv serta kasur busa lengkap dengan selimut tebal, kami sewa dengan harga 400 ribu per malam.

[caption id="attachment_335409" align="alignnone" width="600" caption="Hardtop Penjelajah (trilokon)"]

14064715301416479078
14064715301416479078
[/caption]

“Sekalian sewa Jeepnya, bos?” kata Joky, warga suku Tengger. “Ada paketnya to?” Tanya saya. “Kalau paket ke Pananjakan dan ke kawah, 400 ribu bos. Tapi kalau lengkap 750 ribu” jelas Joky. “Lengkap maksudnya diantar sampai ke mana saja?” Tanya kakak saya. “Semua bos. Setelah Penanjakan, lalu ke Kawah, setelah itu ke Bukit Teletabis, Pasir Berbisik (berisik) dan kembali ke Villa” ujar Joky.

Kami pilih paket lengkap dan setelah memberi uang panjar tanda jadi, Jeep Hardtop berjanji akan menjemput kami pada jam 3 pagi.

Kakak perempuan saya tampak kedinginan. Minum kopi panas dan mie panas tak mampu mengusir gigilnya badan. Jaket hangat, sarung tangan, topi hangat, syal, kaos kaki tebal sudah saya pakai untuk melawan dinginnya alam yang konon mencapai 10-20 derajat. Apakah karena badan terbiasa hidup di Semarang yang berhawa panas? Entahlah, malam itu saya tidur dalam dekapan dingin yang sangat.

Suara mesin hardtop terdengar di depan pintu. Kami bangun dan bergegas masuk ke dalam mobil. Beberapa mobil hardtop lainnya sudah mendahului kami menembus gulitanya dusun Ngadirasa.

Memasuki kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang luasnya lebih dari 50 ribu Ha, kami dihentikan untuk membayar karcis masuk sebesar Rp. 37.500,- per orang dan Rp. 10.000,- untuk mobil. Saya baca di pos penjagaan, status Gunung Browo pada level waspada.

Sesekali Hardtop berhenti untuk memindahkan gigi gardan persneling saat melintasi lautan pasir dan tanjakan terjal. Hanya dengan penerangan lampu mobil Hardtop kami menembus gelapnya lautan pasir.

Penanjakan sudah di depan mata. Masih gelap. Tapi suasananya sudah ramai bersamaan datangnya banyak wisatawan. Turun dari Hardtop, langkah kaki menuju ke lokasi tempat melihat sunrise yaitu di samping menara-menara BTS. Dinginnya udara, oksigen yang tipis, tanjakan yang tinggi, tak ayal napas pun tersengal-sengal.

[caption id="attachment_335410" align="alignnone" width="600" caption="Sunrise (trilokon)"]

1406471682348741475
1406471682348741475
[/caption]

[caption id="attachment_335411" align="alignnone" width="600" caption="Siluet Pagi (trilokon)"]

14064717531312454821
14064717531312454821
[/caption]

“Sewa mantel pak? Sepuluh ribu” tawar seorang Bapak penyewa mantel hangat. Saya menggelengkan kepala tapi kakak saya dan suaminya mengiyakan. Dinginnya udara yang menusuk badan memang harus diusir dengan berlapis-lapis mantel. Tak hanya itu, kopi jahe hangat pun dipesan untuk disedu melawan dingin.

Tak beberapa lama, lokasi tempat melihat sunrise mulai dipenuhi oleh wisatawan lokal dan asing. Semua kamera berbagai macam jenis seperti tak berkedip saat menatap fajar tiba. Ratusan orang seperti mensyukuri keindahan terbitnya sang surya itu dengan berbagai macam cara dan gaya.

[caption id="attachment_335412" align="alignnone" width="600" caption="Masih bertahan meski sudah terang (trilokon)"]

14064718551586696120
14064718551586696120
[/caption]

Tripod dan kamera saya sudah merekam peristiwa indanya sunrise di Bromo. Tak hanya itu, meski harus sedikit berdesakan dengan yang lain, saya potret dari berbagai sudut. Betah berada di situ, tapi mentari terus beranjak cuek meninggalkan kerumunan orang. Satu persatu wisatawan turun menuju ke mobil bersamaan pudarnya kegelapan dan sambutan pagi yang sejuk.

Warung-warung ramai dikunjungi. Para pemilik mantel sewaan meminta kembali mantel yang disewa. Percakapan tentang indahnya sunrise makin menambah suasana pagi itu menjadi ramai seperti pasar pagi.

[caption id="attachment_335413" align="alignnone" width="600" caption="Spot Penanjakan Setelah Sunrise (trilokon)"]

1406471988526637039
1406471988526637039
[/caption]

Hardtop hijau sudah bergerak. Lalu berhenti di salah satu spot yang bagus untuk fotografi. Tak ingin melewatkan kesempatan, saya turun untuk memotret landskap gunung Bromo dengan background Semeru yang diselimuti kabut tipis.

Perjalanan dari Penanjakan ke kawah Bromo, sangat eksotis. Sinar pagi yang menerobos cemara-cemara hutan dan panorama alam pegunungan, yang dililit kabut tipis, sungguh membuat hati bungah. Sejauh mata memandang, hanya keindahanlah yang ada.

[caption id="attachment_335414" align="alignnone" width="600" caption="Jalan Kaki atau Naik Kuda? (trilokon)"]

1406472096162596963
1406472096162596963
[/caption]

“Om naik kuda sampai kaki kawah” tawar pemilik kuda yang sudah menyambut kedatangan Hardtopkami. Menurut sang sopir, kalau tidak mau naik bilang saja tidak. Tapi kalau ingin menunggang kuda ke kawah sewanya 100 ribu.

Dari parkir mobil hingga tanjakan ke kawah, saya jalan kaki. Alasannya saya bawa kamera, selain menghindari debu pasir, juga saya bisa foto-foto alam dengan bebas. Terakhir kali saya ke Bromo tahun 1997. Suasana alam sekitar kawah Bromo tidak berubah. Hanya bedanya dulu belum hobi memotret. Tampak, beberapa turis asing lebih suka berjalan kaki daripada naik kuda.

[caption id="attachment_335415" align="alignnone" width="600" caption="Tangga Ke Kawah (trilokon)"]

14064722252115051652
14064722252115051652
[/caption]

[caption id="attachment_335416" align="alignnone" width="600" caption="Turis Jalan Kaki (trilokon)"]

14064722722054810549
14064722722054810549
[/caption]

Kami di bawa ke bukit Teletabis setelah mengintari padang Savanah. Di sini kami hanya melihat indahnya bukit yang diselimuti rumput-rumput hijau. Setelah itu, kami dibawa ke lautan pasir yang dikenal sebagai pasir Berbisik. Gunung Bromo menjadi latar belakang yang menambah suasana indah.

[caption id="attachment_335417" align="alignnone" width="600" caption="Teletabis (trilokon)"]

1406472384836999329
1406472384836999329
[/caption]

[caption id="attachment_335418" align="alignnone" width="600" caption="Lima Jam Sudah di Bromo (trilokon)"]

1406472460585062511
1406472460585062511
[/caption]

Setelah itu, kami kembali ke Villa dan membereskan semua biaya sewa kami. Kenangan akan keindahan alam Gunung Bromo mulai dari jam 3 hingga jam 8 pagi, tersimpan dalam memori. “Masih banyak tempat di sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang belum dikunjungi. Lain kali pasti saya akan datang” batin saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun