Sayangnya, saat itu aku tak tahu. Yang kupikir hanya satu hal: bagaimana rasa sakit ini bisa segera hilang. Kini, rasa sakit itu memang sudah hilang, tapi meninggalkan bekas lain --- rasa kehilangan yang lebih dalam.
Pelajaran dari Gigi yang Hilang
Seiring waktu, aku mulai membaca lebih banyak tentang kesehatan gigi. Ternyata, gigi bukan hanya alat untuk mengunyah makanan. Ia juga berperan dalam menjaga struktur rahang, bentuk wajah, dan bahkan cara kita berbicara.Â
Ketika satu gigi hilang, beban kunyah berpindah ke gigi lain. Jika hal ini dibiarkan, bisa memicu masalah baru seperti gigi bergeser, gusi melemah, bahkan nyeri di sendi rahang.
Menurut American Dental Association (ADA) (2023), kehilangan satu gigi tanpa penggantian bisa menyebabkan perubahan posisi gigi tetangga dalam waktu 6 bulan saja. Gigi yang miring atau bergeser bisa memicu penumpukan sisa makanan dan meningkatkan risiko gigi berlubang atau penyakit gusi.
Kini aku benar-benar memahami bahwa keputusan mencabut gigi seharusnya menjadi pilihan terakhir, bukan yang pertama.
Kutipan drg. Fery kembali terngiang dalam pikiranku:
"Langkah kecil, tapi jika dilakukan terus-menerus, akan membentuk budaya sehat yang bertahan lama."
Salah satu langkah kecil itu adalah rutin menyikat gigi dua kali sehari dengan cara yang benar. Bukan asal cepat, tapi dengan teknik yang tepat.Â
Selain itu, mengganti sikat gigi setiap tiga bulan dan rutin memeriksakan gigi setiap enam bulan bisa mencegah banyak masalah sebelum menjadi besar.
Aku menyesal karena dulu tidak pernah datang ke dokter gigi untuk sekadar pemeriksaan rutin. Aku hanya datang saat sakit. Dan itulah pola pikir yang ingin diubah oleh banyak tenaga kesehatan gigi hari ini --- dari "reaktif" menjadi "preventif".
Rasa ngilu yang dulu membuatku panik seharusnya menjadi tanda untuk memeriksa, bukan untuk mencabut. Mungkin kalau aku datang lebih awal, dokter bisa menjelaskan bahwa perawatan seperti penambalan ringan, desensitisasi, atau perawatan akar bisa menyelamatkan gigi itu.Â