Buku Paul Farmer menawarkan cermin keras. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bisa menjadi penyakit jika tidak dipandu oleh literasi, empati, dan komitmen pada hak asasi manusia.Â
Setiap pejabat yang berani membaca buku ini akan dipaksa untuk merenung: apakah kebijakan yang saya buat menyelamatkan hidup orang miskin, atau justru memperpanjang penderitaan mereka?
Mungkin sebagian pejabat akan merasa tidak nyaman. Itu wajar, sebab buku ini memang ditulis untuk mengusik kenyamanan para elite.Â
Namun justru di situlah nilainya. Seorang pejabat yang baik bukanlah yang hanya pandai berbicara, melainkan yang berani belajar dari gagasan besar, menghadapi kritik, dan mengubah cara berpikirnya demi kepentingan rakyat.
Di era ketika pejabat lebih sering memamerkan kemewahan ketimbang wawasan, membaca buku seperti Pathologies of Power bisa menjadi langkah kecil yang membawa perubahan besar.Â
Karena dari literasi lahir empati, dari empati lahir kebijakan yang adil, dan dari kebijakan yang adil lahirlah bangsa yang lebih manusiawi.
Jadi, masihkah kita bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas jika pejabatnya jarang membaca? Jawabannya ada di tangan mereka sendiri.Â
Jika mereka berani membuka satu buku saja---buku yang benar-benar membuka mata---maka bangsa ini mungkin tidak lagi terjebak dalam lingkaran "penyakit kekuasaan". Karena untuk memimpin dengan benar, pejabat harus berani membaca terlebih dahulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI