Menurutnya, penderitaan itu adalah bentuk "kekerasan struktural"---yakni kekerasan yang lahir dari keputusan politik, distribusi ekonomi yang timpang, dan sistem kesehatan yang diskriminatif.Â
Inilah yang ia sebut sebagai "penyakit kekuasaan". Kekuasaan yang semestinya digunakan untuk melindungi rakyat justru menghasilkan kebijakan yang membuat orang miskin semakin tersingkir.
Farmer menekankan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Sama seperti hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mendapatkan keadilan, hak untuk sehat adalah hak universal yang tidak boleh dipisahkan dari kehidupan bermartabat.Â
Namun kenyataannya, jutaan orang di dunia---terutama di negara miskin---tidak pernah merasakan hak ini.Â
Mereka mati bukan karena tidak ada obat, tetapi karena tidak mampu membeli obat. Mereka mati bukan karena tidak ada rumah sakit, tetapi karena rumah sakit terlalu jauh, terlalu mahal, atau terlalu eksklusif bagi orang miskin.
Farmer menggambarkan kenyataan ini dengan data, kisah nyata, dan analisis tajam. Ia tidak hanya menyalahkan virus atau bakteri, tetapi menunjukkan bagaimana kebijakan internasional, praktik ekonomi neoliberal, hingga keputusan pejabat lokal menciptakan kondisi yang mematikan.Â
Ia menyebutnya sebagai bentuk baru dari perang terhadap orang miskin, perang yang sunyi tapi memakan korban begitu banyak.
Relevansi untuk Indonesia
Mengapa buku ini penting untuk pejabat di Indonesia? Jawabannya sederhana: karena kita masih hidup dalam realitas yang sangat mirip dengan apa yang dijelaskan Paul Farmer.Â
Di negeri ini, kita masih mendengar berita anak-anak meninggal akibat gizi buruk di Papua, ibu hamil kehilangan nyawa karena tidak sempat mendapat layanan kesehatan di daerah terpencil, atau masyarakat miskin yang harus menjual harta benda demi berobat di rumah sakit.Â
Semua ini bukanlah kebetulan, melainkan akibat dari sistem kebijakan yang belum benar-benar berpihak pada rakyat kecil.
Pejabat kita sering berbicara soal pembangunan infrastruktur, investasi asing, atau target pertumbuhan ekonomi. Tetapi seberapa banyak dari mereka yang benar-benar menaruh perhatian pada kesehatan rakyat di pelosok negeri?Â