"Seberapa dekat pejabat kita dengan buku?"
Pertanyaan sederhana ini seharusnya membuat kita semua berhenti sejenak dan merenung. Kita sering menyaksikan pejabat kita tampil di layar kaca, di media sosial, atau di panggung politik dengan penuh percaya diri.Â
Mereka berbicara lantang soal pembangunan, ekonomi, kebijakan publik, bahkan tentang visi besar bangsa.Â
Namun, pernahkah kita melihat para pejabat itu berbicara tentang buku yang baru saja mereka baca? Pernahkah kita mendengar mereka membagikan wawasan dari sebuah karya penting yang memberi inspirasi untuk langkah kebijakan?Â
Rasanya hampir tidak pernah. Yang justru lebih sering kita saksikan adalah pamer kemewahan: mobil mewah, jam tangan mahal, pesta keluarga besar-besaran, atau gaya hidup yang jauh dari kesederhanaan.
Ironi ini menohok kita. Sebab dari bacaanlah lahir gagasan besar. Dari buku, lahir kemampuan untuk memahami kompleksitas. Dari literasi, tumbuh empati dan imajinasi kebijakan yang lebih adil.Â
Jika seorang pejabat bahkan kesulitan membaca satu buku saja, bagaimana ia bisa mengelola negara yang begitu rumit selama lima tahun masa jabatan? Bagaimana ia bisa benar-benar memahami penderitaan rakyat yang diwakilinya?Â
Pertanyaan ini menjadi relevan terutama ketika kita membicarakan sebuah buku yang seharusnya menjadi "bacaan wajib" pejabat, yaitu karya Paul Farmer berjudul Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor.
Paul Farmer dan "Penyakit Kekuasaan"
Paul Farmer bukan sekadar akademisi. Ia adalah seorang dokter, antropolog medis, sekaligus aktivis yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bekerja di tengah masyarakat miskin, mulai dari Haiti hingga Rwanda.Â
Ia menyaksikan langsung bagaimana orang-orang miskin tidak hanya menderita karena penyakit, tetapi juga karena kebijakan yang tidak berpihak.Â
Ia melihat bahwa kematian akibat TBC, HIV/AIDS, atau kelaparan sering kali bukan karena ilmu kedokteran gagal, tetapi karena sistem sosial, politik, dan ekonomi yang membiarkan orang miskin mati.
Dalam Pathologies of Power, Farmer menantang cara pandang dunia yang sering menganggap penderitaan rakyat miskin sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan takdir.Â