Pernahkah kita melihat seorang pejabat dengan bangga memamerkan koleksi bukunya di ruang kerja? Jujur saja, pemandangan seperti itu nyaris tak pernah muncul di linimasa kita. Yang sering terlihat justru sebaliknya: foto pejabat dengan jam tangan mewah, gawai terbaru, atau mobil keluaran terkini.Â
Gadget memang identik dengan kemajuan, tapi di saat yang sama, keakraban dengan buku tampak semakin memudar.
Di era digital, akses informasi sebenarnya sangat terbuka. Dengan satu sentuhan layar, jutaan artikel, e-book, hingga jurnal internasional bisa kita baca.Â
Ironisnya, kemudahan itu justru tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas literasi. Alih-alih membaca secara mendalam, banyak orang---termasuk pejabat---justru terjebak pada pola membaca cepat, sekadar menggulir layar, atau bahkan berhenti di judul berita saja.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah gadget benar-benar telah menggantikan buku? Atau jangan-jangan, keduanya sama-sama hadir dalam kehidupan pejabat, tapi dengan fungsi yang berbeda---buku sebagai pajangan, gadget sebagai panggung pencitraan.Â
Jika benar demikian, maka tak heran jika literasi pejabat kita makin dangkal dan kebijakannya pun kerap terkesan reaktif.
Literasi Pejabat: Antara Buku dan Layar
Buku sejak lama dianggap sebagai jendela pengetahuan. Dari bacaan yang mendalam, lahirlah gagasan besar, konsep kebijakan, bahkan arah pembangunan suatu bangsa.Â
Sejarah mencatat bagaimana tokoh-tokoh dunia dari Bung Hatta hingga Nelson Mandela selalu menekankan pentingnya membaca. Bung Hatta misalnya, pernah mengatakan bahwa beliau rela dipenjara asalkan tetap diberi buku.Â
Pernyataan itu menunjukkan betapa literasi dianggap sebagai makanan utama bagi pemimpin yang berpikir jauh ke depan.
Di sisi lain, gadget hadir dengan wajah berbeda. Ia menawarkan kecepatan, kemudahan, dan hiburan dalam genggaman. Dengan smartphone, pejabat bisa mendapatkan informasi terkini, berinteraksi dengan warganet, hingga membangun citra di media sosial.Â