Bagi Indonesia, pelajaran pentingnya adalah menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan penguatan institusi. AI bisa menjadi alat bantu yang efektif, tetapi tetap harus ada manusia yang berintegritas sebagai pengawas utama. Tanpa itu, kita hanya akan memindahkan korupsi dari meja birokrat ke server digital.
Selain itu, demokrasi Indonesia yang sedang berproses tidak boleh kehilangan ruang deliberasi publik. Jika keputusan publik sepenuhnya diambil oleh algoritma, maka ruang kontrol warga akan semakin sempit. Transparansi dan partisipasi masyarakat tetap kunci utama, bahkan ketika teknologi digunakan.
Dengan kata lain, sebelum tergoda untuk mengangkat "Diella versi Indonesia", kita perlu membangun dulu fondasi yang kokoh: lembaga antikorupsi yang kuat, keterbukaan data, dan integritas pejabat publik.
Penutup
Diella menandai momen penting dalam hubungan antara politik dan teknologi. Ia adalah simbol bagaimana kecerdasan buatan dipakai bukan hanya untuk efisiensi birokrasi, tetapi juga untuk pencitraan politik dan ambisi geopolitik.
Namun, janji bahwa Diella akan menjadikan pengadaan publik 100 persen bebas korupsi tampak terlalu muluk. AI bisa membantu mendeteksi pola mencurigakan dan mempercepat analisis dokumen, tetapi pada akhirnya, korupsi adalah masalah politik, budaya, dan institusi.
Modernitas sejati bukanlah soal menghadirkan avatar digital di kabinet, melainkan soal keberanian membangun sistem yang bersih, transparan, dan demokratis. Diella mungkin tidak tidur, tidak bisa disuap, dan tidak punya sepupu, tetapi masa depan pemerintahan yang baik tetap ditentukan oleh manusia yang berani menjaga integritasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI