Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Diella, Eropa, dan Ilusi Modernitas Albania

23 September 2025   18:08 Diperbarui: 23 September 2025   18:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Albania serius ingin masuk Uni Eropa, maka Diella bisa menjadi ujian pertama yang menentukan arah masa depan politiknya. Di satu sisi, ia bisa menjadi bukti bahwa Albania benar-benar berbenah. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi contoh bagaimana teknologi hanya dipakai untuk pencitraan politik tanpa reformasi nyata.

Dari perspektif Uni Eropa, integrasi Albania tidak hanya soal ekonomi dan diplomasi, tetapi juga soal nilai-nilai demokrasi dan tata kelola yang baik. Kehadiran Diella yang penuh misteri justru bisa memunculkan keraguan, apakah Albania sungguh siap atau hanya sekadar menampilkan wajah modern untuk menyembunyikan kelemahan internal.

Ironisnya, jika tidak transparan, Diella bisa menempatkan Albania dalam posisi yang lebih sulit. Bukannya mempercepat aksesi ke Uni Eropa, langkah ini bisa dianggap sebagai bukti bahwa negara tersebut masih bermain-main dengan simbol, bukan substansi.

Bagi publik Eropa, proyek Diella juga akan dilihat sebagai eksperimen unik, tetapi sekaligus berisiko. Apakah AI akan memperkuat demokrasi, atau justru melemahkannya? Jawaban atas pertanyaan itu akan memengaruhi cara dunia menilai Albania.

Relevansi bagi Indonesia

Meski terjadi jauh di Balkan, kasus Diella punya relevansi besar bagi Indonesia. Negeri ini masih berjuang melawan korupsi, terutama di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 180 negara pada Indeks Persepsi Korupsi 2024 dengan skor 37/100, lebih buruk dibanding Albania (Transparency International, 2024).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa mayoritas kasus korupsi yang mereka tangani berkaitan dengan proyek pemerintah, mulai dari infrastruktur hingga alat kesehatan. 

Sistem e-procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang sudah diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu memang mempersempit ruang suap, tetapi modus korupsi tetap bermunculan. Rekayasa spesifikasi, perusahaan boneka, dan persekongkolan antarpenyedia masih marak ditemukan.

Dalam situasi ini, wacana penggunaan AI untuk mengawasi tender sebenarnya menarik. AI bisa dipakai untuk mendeteksi pola mencurigakan, misalnya perusahaan yang selalu menang di daerah tertentu, harga penawaran yang tidak wajar, atau keterkaitan antara pejabat dengan penyedia barang. 

AI juga bisa menggabungkan data publik, catatan hukum, dan informasi keuangan untuk memberi peringatan dini terhadap potensi konflik kepentingan.

Namun, eksperimen Albania dengan menteri virtual menunjukkan bahwa teknologi bukan solusi ajaib. Tanpa integritas pejabat, transparansi data, dan keberanian menindak pelanggaran, AI hanya akan menjadi alat baru yang bisa dimanipulasi. Bahkan lebih berbahaya, karena manipulasi yang terjadi bisa tersembunyi di balik algoritma yang sulit dipahami publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun