Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Garda Depan MBG, Mampukah Sekolah Jadi Pengawas?

22 September 2025   16:45 Diperbarui: 22 September 2025   16:45 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SDN 1 Simpang Kiri, Kota Subulussalam, Aceh, sedang menikmati makan dari Program MBG, Selasa, (9/9/2025). Dokpri. Julianda Boang Manalu

Setiap pagi, ribuan anak berangkat ke sekolah dengan semangat belajar dan harapan akan hari yang menyenangkan. Orang tua melepas mereka dalam keadaan sehat, dengan keyakinan bahwa di sekolah mereka tidak hanya mendapat ilmu, tetapi juga perhatian yang lebih dari negara lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Namun, suasana penuh harapan itu sering berubah jadi kepanikan ketika berita keracunan massal datang menghantam. Anak-anak yang sebelumnya ceria mendadak muntah, pusing, bahkan harus berbaring di rumah sakit.

Kasus demi kasus keracunan massal terkait program MBG seolah menjadi alarm keras yang belum berhenti berbunyi. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, sejak program ini digulirkan, lebih dari 5.000 kasus keracunan makanan telah tercatat di berbagai daerah (Kompasaiana, 22/9/2025). 

Angka ini tentu mengejutkan, mengingat program MBG sejatinya diluncurkan sebagai upaya mulia meningkatkan gizi anak sekolah, bukan malah menimbulkan risiko kesehatan baru.

Di tengah situasi seperti ini, sekolah seringkali berada di garis depan. Bukan hanya karena menjadi lokasi distribusi makanan, tetapi juga karena pihak sekolahlah yang pertama kali berhadapan dengan murid-murid ketika gejala keracunan muncul. 

Pertanyaan besar pun muncul: sejauh mana sekolah sebenarnya mampu menjadi garda depan pengawasan program MBG?

Publik mulai menyoroti peran sekolah, apakah memang sudah tepat menjadikan mereka penanggung jawab utama? Guru yang tugasnya mengajar, kini juga dituntut untuk memastikan keamanan pangan. Sebuah beban ganda yang tidak ringan, apalagi ketika fasilitas dan pengetahuan teknis mereka soal keamanan makanan sering kali terbatas.

Sekolah di Tengah Badai MBG

Program MBG lahir dari niat baik. Pemerintah ingin memastikan anak-anak Indonesia tidak lagi belajar dalam keadaan lapar. Menurut Presiden Prabowo Subianto saat peluncuran MBG, program ini diharapkan menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas SDM Indonesia di masa depan. 

Namun, idealisme di atas kertas ternyata tak selalu berjalan mulus di lapangan. Realitas yang muncul adalah insiden demi insiden keracunan massal yang terjadi berulang. Di berbagai daerah, berita tentang anak-anak yang tiba-tiba sakit setelah menyantap makanan MBG terus bermunculan. Setiap kali kejadian, rumah sakit setempat kebanjiran pasien, sementara orang tua panik dan menuntut jawaban.

Sekolah menjadi pihak pertama yang menanggung beban situasi ini. Guru harus sigap memberikan pertolongan pertama, memastikan murid dibawa ke fasilitas kesehatan, bahkan menenangkan orang tua yang marah. Padahal, mereka sendiri tidak pernah mendapatkan pelatihan khusus tentang prosedur menghadapi keracunan massal.

Ironisnya, ketika masalah terjadi, sekolah sering dianggap sebagai pihak yang lalai. Seolah-olah mereka tidak mampu mengawasi makanan yang masuk ke halaman sekolah. Padahal, dalam praktiknya, penyedia makanan MBG datang dari pihak ketiga yang ditunjuk lewat tender. Artinya, kendali penuh sebenarnya bukan berada di tangan sekolah.

Situasi semakin pelik karena banyak sekolah tidak memiliki sarana pendukung. Sebagian besar sekolah negeri tidak punya dapur layak, apalagi fasilitas pendingin untuk menyimpan makanan. Alhasil, sekolah hanya bisa menerima makanan yang diantar dari luar, tanpa banyak tahu bagaimana proses pengolahannya.

Meski demikian, tetap saja sekolah yang harus menghadapi kenyataan pahit ketika keracunan terjadi. Ada kasus di mana pihak sekolah bahkan diminta membuat surat pernyataan atas insiden yang sebenarnya di luar kuasa mereka. Hal ini menunjukkan betapa berat beban yang mereka tanggung di tengah kebijakan yang belum matang dari sisi pengawasan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: adilkah menempatkan sekolah di tengah badai MBG, sementara instrumen pendukung mereka masih begitu terbatas?

Peran Sekolah yang (Belum) Jelas

Jika ditelusuri, peran sekolah dalam program MBG memang tidak diatur secara rinci. Sekolah diminta mendukung distribusi, memastikan makanan sampai kepada murid, dan melaporkan jika ada masalah. Namun, sejauh ini tidak ada aturan baku yang jelas tentang bagaimana sekolah harus mengawasi kualitas makanan.

Di beberapa daerah, ada praktik guru diminta mencicipi terlebih dahulu makanan MBG sebelum diberikan kepada siswa. Praktik ini sempat dipuji sebagai bentuk pengawasan di tingkat sekolah. Tetapi tentu saja, cara ini sangat sederhana dan tidak menjawab persoalan sesungguhnya. 

Mencicipi rasa makanan tidak cukup untuk memastikan tidak adanya bakteri berbahaya seperti E. coli atau Salmonella yang bisa menimbulkan keracunan (IDN Times, 14/08/2024).

Sekolah memang punya kedekatan langsung dengan murid, tetapi tidak semua guru memiliki kapasitas untuk menilai keamanan pangan. Pengetahuan soal standar gizi, teknik penyimpanan, hingga pengolahan makanan sehat bukanlah bagian dari kurikulum pelatihan guru. Akibatnya, pengawasan sekolah lebih bersifat administratif ketimbang substantif.

Ketiadaan pedoman ini membuat tanggung jawab sekolah menjadi kabur. Apakah mereka hanya penghubung antara penyedia makanan dengan siswa, ataukah mereka harus bertindak layaknya badan pengawas pangan? Tidak adanya kejelasan inilah yang justru membuat sekolah rawan disalahkan saat masalah muncul.

Lebih jauh lagi, banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga khusus untuk urusan MBG. Semua urusan akhirnya dibebankan kepada guru atau kepala sekolah, padahal mereka sudah terbebani oleh tugas utama mengajar dan administrasi. Situasi ini sering menimbulkan dilema etis dan profesional.

Jika pengawasan makanan memang harus menjadi bagian dari tugas sekolah, tentu dibutuhkan dukungan nyata. Misalnya, penempatan petugas gizi atau tenaga kesehatan di tiap sekolah, atau setidaknya pelatihan rutin bagi guru yang ditunjuk. Tanpa langkah-langkah itu, peran sekolah dalam MBG hanya akan menjadi formalitas.

Jelas bahwa posisi sekolah dalam pengawasan MBG saat ini masih setengah hati: diharapkan berperan besar, tetapi tidak diberi perangkat yang memadai.

Tantangan Besar di Lapangan

Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan sumber daya. Guru dan kepala sekolah harus mengawasi ratusan murid setiap hari, mengelola administrasi, mengajar, sekaligus memastikan distribusi makanan MBG berjalan lancar. Dengan beban sebanyak itu, apakah realistis berharap mereka bisa mendeteksi potensi keracunan?

Selain itu, kapasitas pengetahuan juga menjadi persoalan. Tidak semua guru paham tentang standar kebersihan makanan. Misalnya, berapa lama makanan bisa disimpan pada suhu ruang sebelum menjadi berbahaya? Atau bagaimana cara mengenali makanan yang sudah terkontaminasi? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang terjawab karena memang tidak pernah diajarkan.

Koordinasi birokrasi juga menjadi penghalang lain. Sekolah berhubungan dengan Dinas Pendidikan, tetapi soal makanan biasanya ditangani oleh Dinas Kesehatan atau penyedia yang ditunjuk pemerintah daerah. Koordinasi antar instansi ini sering berjalan lambat, sementara kebutuhan pengawasan di lapangan sangat cepat.

Variasi antar daerah membuat masalah semakin kompleks. Sekolah di kota besar mungkin punya fasilitas lebih baik, bahkan bisa menyimpan makanan sementara. Tetapi di pelosok, makanan sering diantar dalam kondisi seadanya, menempuh perjalanan berjam-jam sebelum sampai ke sekolah. Dalam kondisi seperti ini, risiko makanan basi jelas lebih tinggi.

Ada pula faktor budaya dan kebiasaan lokal. Di beberapa tempat, anak-anak terbiasa berbagi makanan dari satu wadah, yang sebenarnya bisa memperbesar risiko penyebaran bakteri. Jika sekolah tidak punya cara untuk mengedukasi murid soal kebersihan, maka masalah bisa semakin melebar.

Kasus di Cianjur misalnya, Laboratorium Kesehatan Daerah menemukan adanya bakteri Staphylococcus sp., E. coli, dan Salmonella pada ompreng yang dipakai dalam program MBG (IDN Times Jabar, 1/5/2025). Fakta ini menunjukkan bahwa bukan hanya isi makanan, wadah yang digunakan pun bisa menjadi sumber keracunan.

Semua tantangan ini memperlihatkan bahwa peran sekolah memang sangat berat. Mereka seolah berada di garis depan, tetapi tanpa peralatan perang yang memadai.

Membangun Sistem Pengawasan yang Efektif

Jika sekolah memang harus ditempatkan sebagai garda depan pengawasan MBG, maka sistemnya harus diperkuat secara serius. Pertama, keterlibatan orang tua perlu diperbesar. Komite sekolah bisa menjadi pengawas independen, sehingga tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada guru. Dengan cara ini, ada kolaborasi nyata antara sekolah dan keluarga.

Kedua, transparansi rantai distribusi makanan harus dijaga. Sekolah perlu tahu dari mana makanan berasal, siapa penyedianya, bagaimana proses memasaknya, dan bagaimana penyimpanannya sebelum tiba di sekolah. Informasi ini penting agar sekolah tidak buta terhadap proses yang mereka awasi.

Ketiga, pemerintah harus menyediakan pelatihan dasar bagi guru atau staf sekolah terkait keamanan pangan. Materi sederhana seperti mengenali makanan yang tidak layak, teknik penyimpanan aman, hingga prosedur cepat jika terjadi keracunan, akan sangat membantu.

Keempat, penting untuk menempatkan tenaga ahli gizi atau petugas kesehatan di sekolah, setidaknya di sekolah-sekolah besar atau yang rawan kasus. Kehadiran mereka bisa menjadi buffer yang mengurangi beban guru.

Kelima, teknologi bisa dimanfaatkan. Misalnya dengan aplikasi pelaporan cepat, di mana sekolah bisa langsung melaporkan kondisi makanan setiap hari, disertai foto dan catatan, lalu diteruskan ke dinas terkait. Dengan begitu, pengawasan lebih terukur dan transparan.

Keenam, peraturan yang jelas harus dibuat. Apakah sekolah hanya sebagai penerima dan penghubung, ataukah mereka benar-benar pengawas? Dengan adanya kepastian hukum, beban tanggung jawab tidak lagi kabur.

Ketujuh, harus ada evaluasi rutin yang melibatkan sekolah sebagai aktor utama. Jangan sampai evaluasi hanya dilakukan di tingkat kementerian atau pemerintah daerah, tanpa mendengar suara guru dan kepala sekolah yang menghadapi realitas di lapangan.

Kedelapan, insiden keracunan harus dilihat bukan sekadar masalah lokal, tetapi alarm nasional. Jika ribuan anak bisa keracunan karena program negara, ini artinya ada celah serius dalam sistem yang harus segera ditutup.

Kesembilan, membangun budaya kebersihan di sekolah juga tak kalah penting. Anak-anak perlu dibiasakan cuci tangan sebelum makan, menggunakan wadah bersih, dan tidak berbagi makanan sembarangan. Peran sekolah di sini sebagai pendidik justru sangat strategis.

Penutup

Keracunan massal dalam program MBG adalah kenyataan pahit yang tidak bisa kita abaikan. Sekolah sering dijadikan garda depan, tetapi mereka tidak dibekali perangkat memadai untuk menjalankan peran itu. Jika kita benar-benar ingin sekolah menjadi pengawas, maka dukungan sistem, fasilitas, dan pengetahuan harus segera diberikan.

Sekolah bukan sekadar lokasi distribusi, tetapi juga tempat anak-anak belajar tentang hidup sehat. Namun, jangan sampai sekolah dipaksa menanggung beban terlalu berat. Tugas ini harus menjadi kerja bersama: pemerintah, orang tua, masyarakat, dan sekolah itu sendiri.

Pada akhirnya, pertanyaan ini harus terus kita ulang: mampukah sekolah jadi garda depan pengawasan MBG, ataukah mereka hanya dijadikan tameng dari kelemahan sistem yang lebih besar? Jawabannya ada pada langkah nyata yang kita ambil hari ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun