Jelas bahwa posisi sekolah dalam pengawasan MBG saat ini masih setengah hati: diharapkan berperan besar, tetapi tidak diberi perangkat yang memadai.
Tantangan Besar di Lapangan
Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan sumber daya. Guru dan kepala sekolah harus mengawasi ratusan murid setiap hari, mengelola administrasi, mengajar, sekaligus memastikan distribusi makanan MBG berjalan lancar. Dengan beban sebanyak itu, apakah realistis berharap mereka bisa mendeteksi potensi keracunan?
Selain itu, kapasitas pengetahuan juga menjadi persoalan. Tidak semua guru paham tentang standar kebersihan makanan. Misalnya, berapa lama makanan bisa disimpan pada suhu ruang sebelum menjadi berbahaya? Atau bagaimana cara mengenali makanan yang sudah terkontaminasi? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang terjawab karena memang tidak pernah diajarkan.
Koordinasi birokrasi juga menjadi penghalang lain. Sekolah berhubungan dengan Dinas Pendidikan, tetapi soal makanan biasanya ditangani oleh Dinas Kesehatan atau penyedia yang ditunjuk pemerintah daerah. Koordinasi antar instansi ini sering berjalan lambat, sementara kebutuhan pengawasan di lapangan sangat cepat.
Variasi antar daerah membuat masalah semakin kompleks. Sekolah di kota besar mungkin punya fasilitas lebih baik, bahkan bisa menyimpan makanan sementara. Tetapi di pelosok, makanan sering diantar dalam kondisi seadanya, menempuh perjalanan berjam-jam sebelum sampai ke sekolah. Dalam kondisi seperti ini, risiko makanan basi jelas lebih tinggi.
Ada pula faktor budaya dan kebiasaan lokal. Di beberapa tempat, anak-anak terbiasa berbagi makanan dari satu wadah, yang sebenarnya bisa memperbesar risiko penyebaran bakteri. Jika sekolah tidak punya cara untuk mengedukasi murid soal kebersihan, maka masalah bisa semakin melebar.
Kasus di Cianjur misalnya, Laboratorium Kesehatan Daerah menemukan adanya bakteri Staphylococcus sp., E. coli, dan Salmonella pada ompreng yang dipakai dalam program MBG (IDN Times Jabar, 1/5/2025). Fakta ini menunjukkan bahwa bukan hanya isi makanan, wadah yang digunakan pun bisa menjadi sumber keracunan.
Semua tantangan ini memperlihatkan bahwa peran sekolah memang sangat berat. Mereka seolah berada di garis depan, tetapi tanpa peralatan perang yang memadai.
Membangun Sistem Pengawasan yang Efektif
Jika sekolah memang harus ditempatkan sebagai garda depan pengawasan MBG, maka sistemnya harus diperkuat secara serius. Pertama, keterlibatan orang tua perlu diperbesar. Komite sekolah bisa menjadi pengawas independen, sehingga tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada guru. Dengan cara ini, ada kolaborasi nyata antara sekolah dan keluarga.
Kedua, transparansi rantai distribusi makanan harus dijaga. Sekolah perlu tahu dari mana makanan berasal, siapa penyedianya, bagaimana proses memasaknya, dan bagaimana penyimpanannya sebelum tiba di sekolah. Informasi ini penting agar sekolah tidak buta terhadap proses yang mereka awasi.
Ketiga, pemerintah harus menyediakan pelatihan dasar bagi guru atau staf sekolah terkait keamanan pangan. Materi sederhana seperti mengenali makanan yang tidak layak, teknik penyimpanan aman, hingga prosedur cepat jika terjadi keracunan, akan sangat membantu.