Di jalan raya Indonesia, suara sirine sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tiba-tiba suara melengking itu membelah udara, memaksa pengendara lain menepi, dan menciptakan jalur khusus seolah-olah ada keadaan darurat.Â
Namun, sering kali masyarakat bertanya-tanya: benarkah itu tanda darurat, atau sekadar pamer kuasa? Pertanyaan sederhana ini kerap muncul karena frekuensi penggunaan sirine di luar fungsi utamanya semakin sering ditemui.
Fenomena ini menggelitik nurani publik. Sirine yang seharusnya menjadi simbol keselamatan justru mulai bergeser maknanya. Ketika setiap kendaraan yang memiliki "hak istimewa" bisa dengan leluasa menggunakannya, maka suara sirine kehilangan wibawa sebagai tanda darurat. Masyarakat pun tak lagi merasakan urgensi ketika mendengar bunyi melengking itu, melainkan sekadar kesal karena harus menepi untuk sesuatu yang tampak bukan prioritas.
Tulisan ini mencoba memandang sirine dari sisi lain: bukan sekadar perangkat teknis lalu lintas, melainkan simbol yang sarat makna kekuasaan. Ia bukan hanya suara yang membelah jalan, melainkan juga representasi relasi antara negara, pejabat, dan rakyat di ruang publik bernama jalan raya.
Makna Awal Sirine: Alat Keselamatan Publik
Pada awalnya, sirine memiliki makna yang sederhana dan jelas: tanda adanya keadaan darurat yang harus segera ditangani. Ambulans yang berkejaran dengan waktu demi menyelamatkan nyawa pasien, mobil pemadam kebakaran yang menembus lalu lintas padat demi memadamkan api, atau polisi yang melakukan pengejaran. Sirine menjadi simbol urgensi yang universal, dipahami secara instan oleh siapa pun di jalan raya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan tegas mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirine. Dalam pasal 59 disebutkan, penggunaan lampu isyarat dan sirine hanya diperuntukkan bagi kendaraan tertentu, seperti ambulans, pemadam kebakaran, pengangkut jenazah, dan kendaraan aparat penegak hukum. Regulasi ini dibuat agar sirine tidak kehilangan maknanya, sehingga masyarakat tahu kapan harus memberi jalan.
Selama bertahun-tahun, fungsi ini dihormati oleh masyarakat. Ketika sirine berbunyi, pengendara akan menepi tanpa banyak berpikir. Terdapat rasa kepercayaan bahwa bunyi tersebut memang mewakili situasi yang genting. Bahkan ada rasa empati: ketika mendengar ambulans lewat, kita sadar bahwa mungkin ada nyawa yang sedang dipertaruhkan.
Namun, seiring waktu, fungsi asli sirine mulai terdistorsi. Muncul kendaraan lain di luar kategori darurat yang juga menggunakan sirine. Dari kendaraan pengawalan pejabat hingga mobil pribadi yang "iseng" memasangnya, suara sirine menjadi semakin ambigu. Masyarakat tidak lagi yakin apakah yang lewat adalah ambulans yang membawa pasien kritis, atau sekadar iring-iringan pejabat yang terburu-buru menghadiri acara.
Inilah titik awal ketika sirine kehilangan makna universalnya sebagai simbol keselamatan publik. Dari sebuah tanda kepercayaan, ia mulai berubah menjadi tanda tanya besar di telinga masyarakat.
Perubahan Fungsi: Dari Urgensi ke Privilege
Fenomena perubahan fungsi sirine bisa diamati dengan mudah di kota-kota besar. Tidak jarang kita menyaksikan iring-iringan mobil pejabat yang menggunakan sirine di jalanan padat. Bukan untuk menanggulangi keadaan darurat, melainkan sekadar agar perjalanan lebih cepat dan lancar. Praktik ini menimbulkan kesan bahwa sirine bukan lagi tentang menyelamatkan orang, tetapi tentang siapa yang memiliki kuasa lebih di jalan raya.