Dalam konteks Indonesia, kita sering melihat pejabat yang berbicara tanpa menimbang dampak sosial. Kadang ucapan disampaikan secara spontan, dengan niat bercanda atau memberi motivasi, tetapi justru memunculkan ketersinggungan publik. Pernyataan Menteri Agama tentang guru hanyalah satu dari sekian contoh. Ada pula kasus pejabat lain yang menyebut rakyat harus "bersyukur" meski harga pangan naik, atau yang menganggap kritik publik sebagai bentuk ketidaksetiaan.
Komunikasi yang buruk bisa membalikkan niat baik menjadi bumerang. Penelitian dari Edelman Trust Barometer (2022) menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah di banyak negara sangat dipengaruhi oleh cara pemerintah berkomunikasi, bukan semata oleh kinerja ekonomi. Artinya, komunikasi publik memiliki posisi sentral dalam membangun legitimasi kekuasaan.
Masyarakat saat ini juga semakin kritis. Media sosial membuka ruang untuk menilai, mengomentari, dan bahkan mengecam setiap pernyataan pejabat. Lingkungan komunikasi ini berbeda jauh dengan satu dekade lalu, sehingga pejabat publik perlu mengadaptasi gaya berbicaranya agar tetap relevan dan diterima masyarakat.
Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa komunikasi adalah ujian utama kepemimpinan. Jika seorang pejabat gagal dalam menyampaikan pesan, maka sebesar apapun program yang mereka kerjakan akan tenggelam dalam arus kritik dan kontroversi.
Pola Kesalahan Komunikasi Pejabat
Jika kita cermati, ada pola berulang dalam kesalahan komunikasi pejabat di Indonesia. Pertama adalah spontanitas tanpa filter. Banyak pejabat berbicara seolah sedang bercakap-cakap di ruang privat, padahal yang mereka sampaikan bisa dikutip media dan dibagikan publik secara luas. Tidak ada ruang aman dalam komunikasi pejabat, karena setiap kata berpotensi menjadi konsumsi nasional.
Kedua, kurangnya riset dan empati. Ketika berbicara tentang guru, misalnya, publik berharap seorang menteri menunjukkan penghormatan yang tinggi, mengingat profesi guru sering kali diidentikkan dengan pengabdian tanpa pamrih.Â
Alih-alih mengangkat martabat guru, pernyataan tentang "suci di langit, suci di bumi" justru terkesan memberi beban moral yang mustahil dipenuhi. Kekurangan empati dalam memahami situasi audiens membuat pesan menjadi kontraproduktif.
Ketiga, pejabat sering bersikap reaktif, bukan proaktif. Mereka baru menyampaikan klarifikasi atau penjelasan setelah isu viral di media sosial. Padahal, komunikasi proaktif bisa mencegah salah paham sejak awal. Ketidakmampuan mengantisipasi persepsi publik menunjukkan lemahnya strategi komunikasi jangka panjang.
Keempat, masih ada kecenderungan menggunakan gaya komunikasi satu arah. Pejabat berbicara seolah hanya menyampaikan perintah atau pesan tanpa memperhatikan feedback dari masyarakat. Padahal, era komunikasi digital menuntut interaksi dua arah, di mana publik ingin dilibatkan, bukan hanya diberi ceramah.
Kelima, gaya bahasa pejabat sering kali tidak sesuai konteks. Ada yang terlalu formal sehingga terasa kaku, ada pula yang terlalu santai sehingga dianggap tidak pantas. Ketidaktepatan ini memperbesar peluang salah tafsir. Misalnya, ucapan yang dimaksud sebagai motivasi bisa dibaca publik sebagai arogansi.
Keenam, pejabat kerap gagal membedakan antara ruang publik dan ruang pribadi. Kalimat yang bisa diterima dalam obrolan internal sering kali tidak bisa diterima ketika disampaikan di podium resmi. Kurangnya kesadaran terhadap perbedaan ruang komunikasi ini menimbulkan banyak kesalahpahaman.