Secara politik, kredibilitas negara turut tergerus. Bila rakyat buruh merasa janji kesejahteraan tidak ditepati, maka legitimasi demokrasi pun dipertaruhkan. Jalan raya menjadi ruang demokrasi nyata---karena ruang formal tampaknya tak memedulikan mereka.
Kesejahteraan buruh adalah kontrak sosial antara rakyat dan negara. Saat kontrak itu diabaikan, maka retaknya hubungan terjadi---korporasi bisa maju, tapi ketahanan sosial dan stabilitas politik akan mudah goyah di saat kritis.
Negara harus memahami bahwa perbaikan regulasi bukan sekadar menyusun pasal, melainkan memastikan implementasi di lapangan. Jika tidak, demo buruh, PHK massal, dan ketidakamanan kerja akan terus berulang---seolah demo menjadi ritual tahunan.
Sektor informal dan gig economy makin meningkat. Bila tidak ada kebijakan perlindungan yang menyesuaikan, beban sosial makin berat di titik bawah masyarakat. Hilangnya kesejahteraan buruh menjadi semboyan yang terus bergema dalam tiap demo.
Dampaknya meluas: pendidikan anak buruh jadi terganggu karena biaya hidup tinggi; praktik utang menanjak; konflik rumah tangga meningkat---semua akibat dari janji kesejahteraan yang tak pernah selesai.
Semua ini menunjukkan satu hal: mitos kesejahteraan bukan sekadar kegagalan kebijakan, tetapi kegagalan moral negara terhadap rakyatnya sendiri. Padahal buruh adalah penggerak ekonomi yang paling banyak menanggung risiko.
Penutup
Kita harus bertanya: sampai kapan buruh hanya menjadi korban mitos? Negara seharusnya bukan hanya menjanjikan kesejahteraan, melainkan menepatinya dalam regulasi dan praktik yang dapat diakses oleh semua pekerja.
Aksi buruh bukan gangguan, tapi alarm demokrasi. Jika distribusi kesejahteraan hanya berhenti di angka statistik, maka kepercayaan publik pada pemerintah akan terus terkikis.
Kesejahteraan buruh sejatinya adalah indikator utama keadilan sosial dan stabilitas pembangunan. Jika buruh hidup layak, pertumbuhan ekonomi akan lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kita perlu menuntut agar undang-undang ketenagakerjaan yang baru benar-benar memuat perlindungan terhadap outsourcing, cuti manusiawi, pesangon adil, dan sistem pengupahan yang sesuai KHL real di lapangan.
Mitos bisa dihancurkan hanya dengan membaliknya menjadi realitas. Negara harus hadir dalam bentuk peraturan, pelaksanaan, dan perlindungan, bukan sekadar klaim.