Ketika menyebut Sumpah Pemuda 1928, ingatan kolektif bangsa kerap mengarah pada sosok-sosok pemuda laki-laki yang mendominasi peristiwa monumental itu. Nama-nama seperti Soegondo Djojopoespito, Mohammad Yamin, hingga Wage Rudolf Supratman begitu lekat dalam benak masyarakat. Namun, di balik hiruk pikuk peristiwa sejarah tersebut, terdapat figur perempuan muda berusia 21 tahun yang turut hadir dan mengukir jejak penting: Soejatin Kartowijono. Sayangnya, peran Soejatin masih jarang ditulis ulang secara komprehensif dalam narasi sejarah bangsa.
Soejatin bukan sekadar partisipan pasif. Ia adalah simbol dari keberanian perempuan untuk memasuki arena politik kebangsaan yang kala itu dikuasai kaum laki-laki. Kehadirannya dalam Kongres Pemuda II tidak hanya menandai inklusi perempuan dalam pergerakan, tetapi juga membuka ruang bagi lahirnya kesadaran baru bahwa perjuangan bangsa tidak boleh menyingkirkan separuh dari populasinya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana posisi Soejatin ditafsirkan dalam konteks politik gender. Apakah kehadirannya hanya dilihat sebagai pelengkap dari peristiwa Sumpah Pemuda? Atau justru ia adalah pionir yang meletakkan dasar bagi lahirnya kesadaran feminisme Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan, sebab sejarah sering kali ditulis dari perspektif dominan, meninggalkan suara-suara perempuan dalam diam yang panjang.
Penulis berusaha membaca kembali sejarah Sumpah Pemuda dengan menempatkan Soejatin Kartowijono di pusat narasi. Melalui pendekatan politik gender, kita dapat melihat bahwa perjuangan perempuan pada masa kolonial bukan hanya tentang keterlibatan simbolik, melainkan strategi aktif untuk menegosiasikan ruang mereka dalam wacana kebangsaan. Dengan demikian, menulis tentang Soejatin berarti pula menantang narasi maskulin yang telah lama mendominasi buku teks dan peringatan-peringatan nasional.
Dalam konteks itulah, artikel ini hadir. Ia bukan sekadar usaha untuk mengingat nama yang terlupakan, melainkan sebuah upaya membongkar struktur sejarah yang bias. Sebab, tanpa perempuan seperti Soejatin, kisah persatuan pemuda Indonesia mungkin akan kehilangan separuh makna yang seharusnya dimilikinya.
Konteks Sejarah Sumpah Pemuda
Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 terjadi dalam situasi kolonial yang penuh keterbatasan. Gerakan kebangsaan Indonesia sedang mencari bentuk, dan organisasi-organisasi pemuda tumbuh di berbagai daerah dengan membawa identitas kedaerahan masing-masing. Jong Java, Jong Sumatra Bond, Jong Celebes, hingga Jong Ambon menjadi wadah bagi pemuda untuk menyuarakan semangat persatuan. Namun, di balik semangat itu, ada ketimpangan yang jarang disorot: dominasi laki-laki dalam hampir seluruh struktur organisasi.
Kongres Pemuda II yang digelar pada 27--28 Oktober 1928 di Jakarta menjadi tonggak sejarah. Di sanalah lahir ikrar persatuan yang kemudian disebut "Sumpah Pemuda". Meski demikian, daftar tokoh yang sering disebut dalam literatur sejarah hampir semuanya adalah laki-laki. Padahal, terdapat beberapa perempuan yang hadir, salah satunya adalah Soejatin Kartowijono. Kehadirannya tidak hanya penting secara kuantitas, melainkan juga kualitas. Ia menghadirkan perspektif bahwa perjuangan kebangsaan tidak dapat dilepaskan dari perjuangan perempuan.
Situasi perempuan pada masa itu sangat berbeda dengan kondisi laki-laki. Kolonialisme Belanda membatasi ruang gerak perempuan dalam pendidikan maupun politik. Bahkan di kalangan pribumi sendiri, norma sosial masih membatasi peran perempuan sebatas ranah domestik. Oleh karena itu, keberanian Soejatin untuk hadir dalam kongres adalah bentuk perlawanan terhadap dua belenggu sekaligus: kolonialisme dan patriarki.
Lebih dari sekadar hadir, Soejatin menjadi saksi bahwa nasionalisme Indonesia tidak lahir dalam ruang eksklusif kaum laki-laki. Keberadaannya menandai bahwa perempuan juga memiliki kepentingan dalam perjuangan persatuan bangsa. Hal ini jarang ditulis dalam buku sejarah sekolah, yang lebih sering mengabadikan nama-nama besar laki-laki sambil melupakan peran perempuan yang ikut memperkuat fondasi kebangsaan.
Kongres Pemuda II sendiri bukan hanya forum politik, melainkan juga ruang pertemuan gagasan. Di sana, para pemuda mendiskusikan cita-cita Indonesia merdeka dan cara mewujudkannya. Namun, di balik gagasan besar itu, muncul pertanyaan penting: mengapa keterlibatan perempuan begitu sedikit? Apakah perempuan memang tidak diberi ruang, atau mereka memilih untuk membangun ruang perjuangan sendiri? Kehadiran Soejatin justru menjadi bukti bahwa perempuan bersedia hadir di ruang-ruang tersebut, meski dengan risiko keterpinggiran.