Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Bangga dan Waswas, Kisah di Balik Tulisan Saya di Kompas.com

16 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 18 Agustus 2025   14:49 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, ponsel saya bergetar lebih sering dari biasanya. Awalnya saya pikir hanya notifikasi grup WhatsApp yang tak ada habisnya. Namun, sebuah pesan dari seorang teman membuat mata saya membesar: "Tulisanmu dimuat di Kompas.com!" Seketika, hati saya berdebar, dan jemari langsung mencari tautan yang dimaksud.

Membaca nama saya terpampang di bawah judul di media sebesar Kompas.com adalah momen yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ada semacam rasa tidak percaya, bercampur hangatnya kebanggaan yang merambat dari dada hingga ujung kepala. Saya tersenyum sendiri, sambil menatap layar ponsel lebih lama dari biasanya.

Bagi seorang penulis pemula, bisa menembus media nasional adalah impian. Rasanya seperti sedang berdiri di panggung besar, di bawah sorot lampu yang menyilaukan, sementara banyak mata menatap. Dan untuk sejenak, dunia terasa sedikit lebih ramah.

Di balik senyum itu, saya teringat proses menulis artikel tersebut. Ada banyak malam yang dihabiskan untuk merangkai kalimat, memeriksa data, dan memastikan setiap argumen punya pijakan yang kokoh. Saya menulis bukan hanya untuk sekadar berpendapat, tapi juga untuk mengajak pembaca berpikir ulang tentang cara penyidikan yang selama ini berlaku.

Namun, di saat euforia mulai menguasai, muncul rasa ragu. Pikiran saya melayang ke arah yang tidak ingin saya pikirkan, yakni: apakah isi tulisan ini akan membuat saya dalam masalah? Apalagi, saya tahu topik ini menyinggung institusi yang sangat besar dan berpengaruh di negeri ini.

Saya mengingat kembali beberapa cerita yang pernah saya baca. Ada penulis yang mengalami intimidasi karena tulisannya dianggap "mengusik". Ada yang bahkan harus berurusan dengan aparat hanya karena menyampaikan pandangan di ruang publik. Bayangan itu pelan-pelan menggerogoti rasa bahagia saya.

Meski begitu, saya mencoba menenangkan diri. Bukankah saya hanya menulis apa yang saya yakini benar, dengan bahasa yang sopan, dan berdasarkan data yang terbuka untuk publik? Tapi tetap saja, di sudut hati, ada perasaan waswas yang tak bisa diabaikan.

Tulisan yang dimuat di Kompas.com itu berjudul sama persis dengan yang saya kirimkan: "Merevisi Paradigma Penyidikan: Dari Mencari Tersangka ke Menguji Dugaan". Isinya membahas bahwa penyidikan seharusnya tidak dimulai dari asumsi siapa pelaku, melainkan dari pengujian dugaan berdasarkan bukti yang objektif. Menurut saya, ini adalah salah satu prinsip keadilan yang harus diperkuat.

Gagasan ini muncul dari kegelisahan pribadi. Saya sering membaca berita tentang orang yang sudah lebih dulu dicap sebagai tersangka, padahal proses pengumpulan bukti masih berlangsung. Seolah-olah sistem kita terburu-buru menetapkan "siapa yang salah" sebelum benar-benar tahu "apa yang sebenarnya terjadi".

Tangkap layar tulisan penulis yang di muat di laman KOMPAS.com. Dokumen Pribadi Julianda Boang Manalu
Tangkap layar tulisan penulis yang di muat di laman KOMPAS.com. Dokumen Pribadi Julianda Boang Manalu

Bagi saya, ini bukan sekadar masalah teknis hukum, tapi juga masalah perlindungan hak asasi manusia. Ketika seseorang sudah distigma di mata publik, proses peradilan menjadi berat sebelah. Apalagi jika media ikut memberitakan secara masif tanpa memberikan ruang yang cukup untuk klarifikasi.

Menulis topik ini tentu membutuhkan kehati-hatian. Saya harus memastikan bahwa kritik saya ditujukan pada sistem, bukan menyerang individu tertentu. Saya membaca berbagai peraturan hukum, menelusuri putusan pengadilan, dan mempelajari standar penyidikan di negara lain. Semua itu saya rangkum dalam bahasa yang saya harap mudah dipahami pembaca umum.

Saya sadar betul bahwa Polri adalah institusi besar dengan peran vital. Kritik terhadap mereka sering kali dianggap sensitif, apalagi jika disampaikan di media arus utama. Namun, saya percaya bahwa kritik konstruktif adalah bagian dari upaya membangun negara yang lebih baik.

Ketika mengirimkan naskah ke Kompas.com, saya sama sekali tidak membayangkan tulisan ini akan dimuat. Saya hanya berpikir, setidaknya editor akan membaca dan mungkin memberikan masukan. Tapi ternyata, beberapa hari kemudian, artikel itu langsung tayang.

Publikasi itu bukan hanya sebuah pencapaian pribadi, tapi juga sebuah momen pembuktian bahwa suara penulis pemula bisa sampai ke ruang publik yang luas. Namun, bersama dengan rasa bangga itu, saya mulai menyadari konsekuensi yang mungkin muncul.

Dalam dunia menulis, ada pepatah bahwa "setiap kata adalah anak panah". Sekali dilepaskan, ia akan melesat tanpa bisa ditarik kembali. Begitu juga tulisan saya. Setelah dimuat, ia hidup sendiri, dibaca, dikomentari, bahkan mungkin disalahpahami.

Kesadaran ini membuat saya memandang tulisan itu dengan kacamata berbeda. Ia bukan lagi sekadar rangkaian kata di layar laptop, tapi sebuah pernyataan publik yang bisa membawa dampak --- baik yang saya harapkan maupun yang tidak saya duga.

Ledakan Rasa Bahagia

Begitu artikel itu resmi tayang, saya hampir tidak bisa menahan diri untuk membagikannya ke berbagai grup dan media sosial. Saya mengirim tautannya ke keluarga, teman dekat, dan beberapa kolega yang selama ini tahu saya suka menulis. Respons mereka membuat hati saya semakin hangat.

Beberapa teman langsung menelpon, sekadar mengucapkan selamat. Ada yang mengirim pesan, "Wah, luar biasa! Baru pertama kali kirim, langsung tembus Kompas.com." Rasanya seperti mendapat pelukan virtual dari banyak orang sekaligus.

Keluarga saya pun tampak ikut bangga. Ayah saya, yang biasanya jarang menanggapi hal-hal seperti ini, tiba-tiba berkata, "Ini tulisan yang baik, Nak. Semoga bermanfaat untuk banyak orang." Kalimat sederhana itu terasa seperti penghargaan yang besar.

Di media sosial, komentar-komentar positif mulai berdatangan. Ada yang menandai saya di status mereka, ada pula yang menulis ulang beberapa kalimat dari artikel saya sebagai kutipan. Saya merasa seperti suara saya mendapat ruang, dan ide yang saya sampaikan benar-benar sampai kepada pembaca.

Perasaan itu semakin kuat ketika saya melihat jumlah pembaca artikel meningkat dari waktu ke waktu. Ada rasa puas mengetahui bahwa pikiran yang saya tuangkan tidak hanya berhenti di meja editor, tetapi benar-benar mengalir ke khalayak luas.

Dalam hati, saya mulai memikirkan kemungkinan untuk menulis lebih banyak lagi. Kalau tulisan pertama saja bisa dimuat, mungkin saya punya peluang untuk menjadi penulis yang lebih aktif di media nasional.

Saya juga membayangkan bagaimana jika artikel ini diambil sebagai rujukan dalam diskusi-diskusi hukum. Betapa bangganya saya jika ide yang saya sampaikan bisa memicu perdebatan sehat di ruang akademik maupun praktisi.

Namun di sela rasa bahagia itu, ada kesadaran yang samar-samar mulai muncul. Saya menyadari bahwa perhatian yang datang bukan hanya dari orang-orang yang mendukung, tetapi juga dari mereka yang mungkin merasa terganggu.

Awalnya saya mencoba mengabaikan pikiran itu. Saya fokus pada euforia, menikmati momentum, dan membiarkan diri saya larut dalam perayaan kecil-kecilan bersama orang-orang terdekat.

Saya bahkan menyimpan tangkapan layar artikel itu, lengkap dengan logo Kompas.com di bagian atasnya. Entah mengapa, saya merasa itu adalah semacam "sertifikat" pencapaian pribadi.

Beberapa rekan penulis di Kompasiana menghubungi saya, memberi selamat, dan mendorong agar saya terus mengirimkan tulisan ke media besar. Mereka bilang, "Kesempatan seperti ini tidak datang setiap hari. Manfaatkan momen ini untuk membangun nama."

Kata-kata mereka membuat saya semakin percaya diri. Saya mulai menyusun ide-ide baru, membayangkan tema-tema lain yang bisa saya angkat, mungkin dengan sudut pandang yang segar.

Tapi di tengah keinginan itu, saya tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh. Seperti awan tipis yang tiba-tiba menutupi matahari, rasa bahagia itu perlahan disertai kegelisahan yang sulit dijelaskan.

Saya mulai memikirkan bahwa setiap tulisan memiliki konsekuensi. Dan untuk tulisan saya kali ini, konsekuensinya mungkin tidak sesederhana komentar di media sosial.

Bayangan Rasa Waswas 

Rasa waswas itu mulai terasa nyata ketika saya mengingat kembali isi artikel. Meski saya menulisnya dengan bahasa yang sopan, saya sadar bahwa topik yang saya angkat menyinggung salah satu institusi penegak hukum terbesar di negeri ini.

Saya teringat pada beberapa berita tentang penulis atau jurnalis yang mengalami tekanan karena tulisannya dianggap "terlalu kritis". Beberapa di antaranya bahkan menghadapi proses hukum. Pikiran-pikiran seperti itu mulai merayap masuk, mengusik ketenangan saya.

Bayangan itu semakin kuat ketika seorang teman, yang kebetulan bekerja di bidang hukum, mengingatkan saya untuk berhati-hati. "Tulisanmu bagus, tapi ingat, ada pasal-pasal yang bisa dipakai untuk menjerat kalau dianggap menyerang."

Meski saya tahu tulisan saya fokus pada pembahasan sistem, bukan individu, rasa cemas itu tetap muncul. Saya mulai bertanya-tanya, apakah pembaca akan memahami maksud saya dengan benar?

Ada kekhawatiran bahwa sebagian orang akan membaca artikel saya secara parsial, hanya mengambil satu atau dua kalimat, lalu menyimpulkan sesuatu yang berbeda dari tujuan awal saya.

Saya juga teringat pada kasus yang pernah menimpa penulis opini di media besar lain, yang artikelnya tentang TNI memicu reaksi keras. Ia sempat mendapat intimidasi, bahkan diancam secara langsung. Kisah itu kembali terputar di kepala saya.

Di tengah rasa cemas itu, saya mencoba menenangkan diri dengan membaca kembali artikel saya. Saya memastikan setiap pernyataan punya dasar hukum dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Saya tahu bahwa di dunia nyata, logika hukum tidak selalu berjalan lurus. Ada banyak faktor yang bisa membuat kritik berubah menjadi "masalah".

Saya mulai membatasi diri dalam membicarakan artikel ini di ruang publik. Ketika ada teman yang ingin membahasnya panjang lebar di kafe atau forum terbuka, saya hanya tersenyum dan bilang, "Nanti saja, kita bahas di tempat yang lebih tenang."

Rasa waswas itu semakin terasa ketika saya melihat beberapa komentar di media sosial yang nada bahasanya sinis. Ada yang menulis, "Hati-hati, Mas, kalau ngomongin lembaga itu." Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat saya berpikir dua kali.

Malam hari menjadi waktu yang paling rawan. Pikiran saya berputar-putar, membayangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana jika ada pihak yang merasa tersinggung dan menganggap tulisan saya merugikan nama baik mereka?

Saya mulai menghindari membaca komentar di artikel tersebut. Bukan karena saya tidak ingin tahu pendapat pembaca, tapi karena saya tidak ingin terjebak dalam rasa takut yang semakin besar.

Meski begitu, saya juga tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa tulisan adalah bentuk keberanian. Jika saya mulai menghindar, bukankah itu berarti saya kalah sebelum benar-benar menghadapi?

Pergulatan batin itu terus berlangsung. Antara ingin menikmati keberhasilan, dan waspada terhadap potensi risiko yang mungkin datang kapan saja.

Saya mencoba mencari dukungan dari beberapa teman penulis. Mereka bilang, selama tulisan saya faktual, sopan, dan bertujuan baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi tetap saja, rasa waswas itu tidak sepenuhnya hilang.

Rasanya seperti berjalan di atas panggung yang lantainya rapuh. Dari luar terlihat tenang, tapi di bawahnya ada jurang yang siap menelan kapan saja.

Saya pun mulai memahami bahwa menulis, terutama tentang isu sensitif, bukan hanya soal keterampilan merangkai kata, tapi juga soal kesiapan mental menghadapi konsekuensinya.

Mengelola Rasa Takut

Setelah beberapa hari bergulat dengan rasa cemas, saya sadar bahwa ketakutan ini tidak bisa terus dibiarkan. Kalau dibiarkan, saya bisa kehilangan semangat untuk menulis, padahal justru menulis adalah alasan mengapa saya merasa hidup lebih bermakna.

Langkah pertama yang saya ambil adalah memeriksa kembali fondasi tulisan saya. Saya memastikan setiap argumen memiliki rujukan yang jelas, baik dari undang-undang, putusan pengadilan, maupun data publik yang bisa diakses siapa saja. Dengan begitu, saya merasa punya pijakan yang kuat jika suatu hari harus menjelaskan atau mempertanggungjawabkan isi tulisan.

Saya juga mulai membaca lebih banyak artikel tentang kebebasan berpendapat di Indonesia. Ternyata, banyak penulis dan jurnalis yang pernah berada di posisi seperti saya. Sebagian besar dari mereka berhasil bertahan, justru karena mereka menulis dengan hati-hati dan tetap memegang prinsip.

Dukungan dari teman-teman penulis di Kompasiana juga sangat membantu. Mereka sering mengingatkan saya bahwa rasa takut adalah bagian alami dari proses menulis, apalagi jika menyentuh topik yang sensitif. Yang penting adalah tidak membiarkan rasa takut itu mengendalikan diri kita.

Saya juga berusaha menenangkan pikiran dengan berbicara pada keluarga. Mereka tidak hanya memberi semangat, tetapi juga mengingatkan untuk tetap waspada. Ibu saya berkata, "Menulis itu seperti menanam pohon. Pohonnya bisa memberi teduh, tapi kalau tanamannya berduri, orang bisa terluka. Jadi, tanamlah pohon yang memberi teduh, tapi jangan lupa sisakan durinya untuk melindungi."

Selain itu, saya mulai mengatur interaksi di media sosial. Saya tidak lagi membaca semua komentar, terutama yang nada bahasanya provokatif. Bukan berarti saya menutup diri dari kritik, tapi saya memilih untuk fokus pada diskusi yang membangun.

Saya juga mencoba teknik sederhana untuk meredakan kecemasan, yakni dengan membatasi konsumsi berita yang memicu ketakutan, serta memperbanyak kegiatan positif seperti membaca buku, olahraga ringan, atau sekadar berjalan sore di lingkungan sekitar.

Secara perlahan, rasa takut itu mulai terkendali. Saya belajar bahwa mengelola ketakutan bukan berarti menghilangkannya sama sekali, melainkan menempatkannya di posisi yang tepat.

Ketika rasa cemas kembali datang, saya mengingatkan diri bahwa saya menulis bukan untuk menyerang, tetapi untuk membangun. Niat yang lurus bisa menjadi perisai, walau tidak sepenuhnya menjamin keselamatan.

Saya juga mempersiapkan diri jika suatu saat harus menjelaskan maksud tulisan secara terbuka. Latihan ini membuat saya lebih percaya diri, karena saya tahu persis mengapa dan bagaimana saya menulis artikel tersebut.

Selain itu, saya mulai menulis catatan pribadi tentang proses ini. Semacam jurnal yang berisi perjalanan emosi saya sejak artikel itu tayang. Menulis jurnal ternyata menjadi terapi tersendiri, membantu saya merapikan pikiran dan melihat masalah dari sudut pandang yang lebih jernih.

Saya menyadari bahwa salah satu cara terbaik untuk menghadapi rasa takut adalah dengan terus menulis. Setiap kali menulis artikel baru, saya merasa semakin kuat, seolah sedang membangun daya tahan terhadap tekanan.

Namun, saya tetap belajar dari pengalaman ini. Untuk topik-topik berikutnya, saya akan lebih matang dalam riset dan mempertimbangkan potensi respons publik.

Saya pun mulai membaca ulang pasal-pasal hukum yang sering digunakan dalam kasus pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Pengetahuan ini penting, bukan untuk membatasi diri secara berlebihan, tetapi untuk memahami batasan yang ada.

Di sisi lain, saya juga berusaha menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak. Saya percaya bahwa komunikasi yang sehat bisa mencegah banyak kesalahpahaman.

Pada akhirnya, saya sadar bahwa rasa takut ini akan selalu ada, dalam kadar yang berbeda-beda. Namun, kini saya tidak lagi membiarkannya menjadi penghalang.

Bagi saya, menulis adalah pilihan sadar untuk berada di jalur yang tidak selalu aman, tapi penuh makna. Dan untuk itu, saya harus siap dengan segala risikonya.

Refleksi dan Pesan

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menulis bukan hanya soal kemampuan merangkai kata, tetapi juga soal keberanian mengambil sikap. Setiap kalimat yang kita tulis membawa konsekuensi, baik yang terlihat maupun yang tak terduga.

Saya belajar bahwa rasa bahagia dan rasa takut bisa hadir bersamaan, saling berkelindan seperti dua sisi mata uang. Kebahagiaan memberi semangat, sementara ketakutan memberi kewaspadaan.

Bagi penulis pemula seperti saya, momen dimuatnya artikel di media besar adalah pencapaian yang membanggakan. Namun, saya juga mengerti bahwa pencapaian itu datang bersama tanggung jawab besar untuk menjaga integritas tulisan.

Pesan yang ingin saya sampaikan kepada penulis lain adalah jangan biarkan rasa takut menghentikan langkah. Rasa takut adalah sinyal untuk berhati-hati, bukan untuk mundur.

Kita bisa tetap kritis tanpa kehilangan kesantunan. Kita bisa mengkritik sistem tanpa menjatuhkan martabat individu. Semua itu mungkin, asalkan kita menulis dengan dasar yang kuat dan niat yang jelas.

Saya juga berharap media terus memberikan ruang bagi penulis pemula untuk bersuara, dengan tetap menjaga standar etika jurnalistik. Ruang seperti ini penting untuk membangun budaya diskusi yang sehat.

Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas berkata apa saja tanpa konsekuensi, melainkan kebebasan untuk menyampaikan pikiran dengan cara yang bertanggung jawab.

Saya percaya, jika lebih banyak orang berani menulis dengan prinsip seperti ini, kita bisa menciptakan ruang publik yang lebih matang dan demokratis.

Pengalaman ini mungkin akan saya ingat selamanya, bukan hanya karena artikel saya dimuat, tetapi karena proses emosional yang menyertainya.

Dan saya yakin, perjalanan ini baru saja dimulai. Masih banyak cerita yang menunggu untuk ditulis, dengan segala risiko dan keindahan yang datang bersamanya.

Penutup

Menulis adalah perjalanan yang penuh warna. Ada tawa, ada cemas, ada rasa puas, ada pula kegelisahan. Semua itu bercampur menjadi pengalaman yang utuh.

Bagi saya, dimuatnya tulisan di Kompas.com adalah tonggak sejarah pribadi. Sebuah pembuktian bahwa suara saya bisa sampai ke ruang publik, meskipun jalan menuju ke sana tidak selalu mulus.

Rasa bangga dan rasa waswas adalah pasangan yang aneh, tapi justru dari perpaduan itulah saya belajar arti keberanian yang sebenarnya.

Ke depan, saya akan terus menulis, bukan karena tidak takut, tetapi justru karena saya sudah berdamai dengan rasa takut itu.

Dan saya berharap, setiap tulisan yang lahir bisa menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya ketidakpastian, sambil tetap waspada terhadap bayangan yang selalu mengiringi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun