Meski begitu, saya juga tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa tulisan adalah bentuk keberanian. Jika saya mulai menghindar, bukankah itu berarti saya kalah sebelum benar-benar menghadapi?
Pergulatan batin itu terus berlangsung. Antara ingin menikmati keberhasilan, dan waspada terhadap potensi risiko yang mungkin datang kapan saja.
Saya mencoba mencari dukungan dari beberapa teman penulis. Mereka bilang, selama tulisan saya faktual, sopan, dan bertujuan baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi tetap saja, rasa waswas itu tidak sepenuhnya hilang.
Rasanya seperti berjalan di atas panggung yang lantainya rapuh. Dari luar terlihat tenang, tapi di bawahnya ada jurang yang siap menelan kapan saja.
Saya pun mulai memahami bahwa menulis, terutama tentang isu sensitif, bukan hanya soal keterampilan merangkai kata, tapi juga soal kesiapan mental menghadapi konsekuensinya.
Mengelola Rasa Takut
Setelah beberapa hari bergulat dengan rasa cemas, saya sadar bahwa ketakutan ini tidak bisa terus dibiarkan. Kalau dibiarkan, saya bisa kehilangan semangat untuk menulis, padahal justru menulis adalah alasan mengapa saya merasa hidup lebih bermakna.
Langkah pertama yang saya ambil adalah memeriksa kembali fondasi tulisan saya. Saya memastikan setiap argumen memiliki rujukan yang jelas, baik dari undang-undang, putusan pengadilan, maupun data publik yang bisa diakses siapa saja. Dengan begitu, saya merasa punya pijakan yang kuat jika suatu hari harus menjelaskan atau mempertanggungjawabkan isi tulisan.
Saya juga mulai membaca lebih banyak artikel tentang kebebasan berpendapat di Indonesia. Ternyata, banyak penulis dan jurnalis yang pernah berada di posisi seperti saya. Sebagian besar dari mereka berhasil bertahan, justru karena mereka menulis dengan hati-hati dan tetap memegang prinsip.
Dukungan dari teman-teman penulis di Kompasiana juga sangat membantu. Mereka sering mengingatkan saya bahwa rasa takut adalah bagian alami dari proses menulis, apalagi jika menyentuh topik yang sensitif. Yang penting adalah tidak membiarkan rasa takut itu mengendalikan diri kita.
Saya juga berusaha menenangkan pikiran dengan berbicara pada keluarga. Mereka tidak hanya memberi semangat, tetapi juga mengingatkan untuk tetap waspada. Ibu saya berkata, "Menulis itu seperti menanam pohon. Pohonnya bisa memberi teduh, tapi kalau tanamannya berduri, orang bisa terluka. Jadi, tanamlah pohon yang memberi teduh, tapi jangan lupa sisakan durinya untuk melindungi."
Selain itu, saya mulai mengatur interaksi di media sosial. Saya tidak lagi membaca semua komentar, terutama yang nada bahasanya provokatif. Bukan berarti saya menutup diri dari kritik, tapi saya memilih untuk fokus pada diskusi yang membangun.