Ambil contoh Amerika Serikat: meski dikenal kapitalis, mereka punya regulasi ketat di sektor energi dan pertahanan. Eropa Barat pun mempertahankan kontrol ketat atas infrastruktur vital seperti listrik dan transportasi. Indonesia sebenarnya tidak berbeda dalam prinsip, hanya berbeda dalam konsistensi.
Prabowo dalam pidatonya memberi pesan tersirat: Indonesia tidak harus menolak investasi asing, tapi harus memastikan kepentingan nasional berada di atas segalanya. Pasal 33 bukan penutup pintu globalisasi, melainkan pagar agar arus globalisasi tidak merugikan rakyat sendiri.
Di era AI, digitalisasi, dan transisi energi, relevansi Pasal 33 justru semakin besar. Cabang produksi vital kini bukan hanya energi dan pangan, tetapi juga data, jaringan telekomunikasi, dan teknologi kritis seperti semikonduktor.
Jika negara abai, penguasaan data oleh korporasi asing bisa menjadi bentuk penjajahan baru. Ini sejalan dengan kekhawatiran para ekonom kritis bahwa "kolonialisme abad ke-21" datang dalam bentuk kepemilikan aset digital dan kendali atas infrastruktur siber.
Pasal 33 memberikan dasar konstitusional untuk mengamankan sektor-sektor ini. Penguasaan oleh negara bukan berarti semua harus dimiliki 100%, tetapi negara harus punya kontrol strategis yang memastikan rakyat tidak menjadi korban monopoli global.
Kedaulatan ekonomi juga berhubungan langsung dengan kedaulatan politik. Negara yang lemah secara ekonomi akan mudah ditekan secara diplomatik. Penguasaan sumber daya sendiri adalah perisai pertama menghadapi tekanan global.
Pidato ini menjadi momentum untuk mengingatkan publik bahwa kedaulatan ekonomi bukan jargon kosong. Ia berwujud pada harga pangan yang stabil, energi terjangkau, dan lapangan kerja layak bagi rakyat.
Meski demikian, realisasi Pasal 33 di abad ke-21 membutuhkan adaptasi. Model pengelolaan negara harus efisien, transparan, dan bebas korupsi. Jika tidak, argumen para penentang pasal ini akan terus menemukan amunisinya.
Prabowo tampaknya paham tantangan ini. Dalam 299 hari pemerintahannya, ia mengklaim berhasil menyelamatkan Rp300 triliun APBN dari kebocoran, sebagian dialihkan untuk program yang langsung menyentuh rakyat seperti Makan Bergizi Gratis dan pembangunan infrastruktur pangan.
Namun, kebijakan yang menyentuh aspek Pasal 33 harus lebih dari sekadar proyek populis. Ia harus membangun sistem yang berkelanjutan, sehingga penguasaan negara atas sektor strategis tidak tergantung pada figur presiden, tapi menjadi norma permanen.
Relevansi Pasal 33 kini bukan lagi pertanyaan akademis, tetapi kebutuhan praktis di tengah dunia yang semakin kompetitif dan penuh gejolak.