Ketika ibu saya wafat dua tahun lalu, kami tidak hanya kehilangan seorang sosok yang hangat, sabar, dan penuh kasih, tapi juga menemukan sesuatu yang tak kami duga, yakni tumpukan catatan utang dalam buku kecil di dalam lemari kayu tua.Â
Di antara pakaian yang masih harum sabun, terselip kwitansi, pinjaman, bahkan catatan tangan utang-utang kecil kepada tetangga dan koperasi. Tidak besar, tapi cukup membuat kami terpaku.Â
Apakah ini berarti kami harus melunasinya? Apa itu tanggung jawab kami sebagai anak-anaknya?
Pertanyaan itu mungkin juga muncul dalam benak banyak orang. Tidak semua orangtua wafat dalam kondisi "bersih" secara finansial. Dalam realita hidup, banyak orangtua---terutama ibu rumah tangga atau pekerja informal---meminjam uang untuk kebutuhan mendesak: sekolah anak, biaya berobat, atau sekadar memenuhi kebutuhan dapur.Â
Saat mereka pergi, apakah utang itu otomatis menjadi tanggungan kita sebagai anak?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana "iya" atau "tidak". Ia melibatkan hukum, agama, dan yang paling penting: hati nurani.
Apa Kata Hukum dan Agama?
Secara hukum di Indonesia, seseorang yang telah wafat tetap meninggalkan hak dan kewajiban yang harus diselesaikan oleh harta peninggalan atau harta warisan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), utang merupakan bagian dari beban warisan.Â
Artinya, sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, utang si pewaris (dalam hal ini orangtua yang telah wafat) harus dilunasi terlebih dahulu dari seluruh harta peninggalan.
Jadi, bila ibu atau ayah kita meninggal dan meninggalkan utang, maka harta warisan yang ditinggalkan seharusnya dipakai lebih dahulu untuk membayar utang itu. Bila harta peninggalan cukup, maka lunaslah kewajiban itu. Setelah itu barulah sisanya dibagi kepada anak-anak atau ahli waris lainnya.