Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Utang Orangtua yang Sudah Wafat, Wajibkah Anak Melunasinya?

5 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 6 Agustus 2025   11:57 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: finansialku.com/Freepik)

Ketika ibu saya wafat dua tahun lalu, kami tidak hanya kehilangan seorang sosok yang hangat, sabar, dan penuh kasih, tapi juga menemukan sesuatu yang tak kami duga, yakni tumpukan catatan utang dalam buku kecil di dalam lemari kayu tua. 

Di antara pakaian yang masih harum sabun, terselip kwitansi, pinjaman, bahkan catatan tangan utang-utang kecil kepada tetangga dan koperasi. Tidak besar, tapi cukup membuat kami terpaku. 

Apakah ini berarti kami harus melunasinya? Apa itu tanggung jawab kami sebagai anak-anaknya?

Pertanyaan itu mungkin juga muncul dalam benak banyak orang. Tidak semua orangtua wafat dalam kondisi "bersih" secara finansial. Dalam realita hidup, banyak orangtua---terutama ibu rumah tangga atau pekerja informal---meminjam uang untuk kebutuhan mendesak: sekolah anak, biaya berobat, atau sekadar memenuhi kebutuhan dapur. 

Saat mereka pergi, apakah utang itu otomatis menjadi tanggungan kita sebagai anak?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana "iya" atau "tidak". Ia melibatkan hukum, agama, dan yang paling penting: hati nurani.

Ilustrasi. (Sumber: finansialku.com/Freepik)
Ilustrasi. (Sumber: finansialku.com/Freepik)

Apa Kata Hukum dan Agama?

Secara hukum di Indonesia, seseorang yang telah wafat tetap meninggalkan hak dan kewajiban yang harus diselesaikan oleh harta peninggalan atau harta warisan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), utang merupakan bagian dari beban warisan. 

Artinya, sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, utang si pewaris (dalam hal ini orangtua yang telah wafat) harus dilunasi terlebih dahulu dari seluruh harta peninggalan.

Jadi, bila ibu atau ayah kita meninggal dan meninggalkan utang, maka harta warisan yang ditinggalkan seharusnya dipakai lebih dahulu untuk membayar utang itu. Bila harta peninggalan cukup, maka lunaslah kewajiban itu. Setelah itu barulah sisanya dibagi kepada anak-anak atau ahli waris lainnya.

Tapi bagaimana kalau tidak ada warisan yang ditinggalkan? Apakah otomatis anak-anak harus membayar utang itu dengan uang mereka sendiri?

Jawabannya: tidak wajib. Hukum tidak memaksa ahli waris untuk membayar utang pewaris jika tidak ada warisan yang ditinggalkan, atau jika ahli waris menolak warisan tersebut.

Namun dalam praktiknya, banyak anak yang tetap memilih untuk melunasi utang orangtua, walau mereka tak menerima sepeserpun warisan. Bukan karena takut hukum, tapi karena moral dan cinta kepada orangtua mereka.

Dalam ajaran Islam, prinsip yang sama juga berlaku. Utang adalah kewajiban yang harus diselesaikan bahkan setelah seseorang wafat. Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga utang itu dibayar." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam tradisi Islam, utang harus didahulukan dari pembagian warisan. Namun lagi-lagi, bila tidak ada warisan, maka anak-anak tidak secara otomatis menanggung utang tersebut, kecuali mereka menghendaki dengan ikhlas.

Pandangan ini menunjukkan bahwa hukum memang memberi ruang. Tidak ada kewajiban hukum atau agama yang memaksa anak membayar dari kantong pribadinya, selama tidak ada warisan. 

Namun, nilai-nilai etika dan kasih sayang terhadap orangtua sering kali berbicara lebih kuat daripada hitung-hitungan formal.

Antara Kewajiban dan Keikhlasan Anak

Saya masih ingat ketika kami berkumpul di ruang tamu setelah pemakaman ibu. Kami membuka catatan keuangannya satu per satu. Di sana tertulis utang kepada tiga tetangga, satu koperasi, dan satu toko kelontong. Totalnya sekitar tujuh juta rupiah. Tidak besar, tapi bagi ibu, itu mungkin cukup memberatkan.

Kami bertanya pada diri kami masing-masing: siapa yang akan melunasi ini? Kami tahu ibu tidak meninggalkan harta. Rumah yang kami tempati adalah milik bersama, tidak bisa dijual. Tabungannya pun sudah habis untuk biaya pengobatan terakhirnya.

Setelah diskusi panjang, kami memutuskan melunasi utang itu bersama-sama. Kami tidak merasa ini sebagai kewajiban hukum, tapi sebagai bentuk terakhir dari bakti kami. Kami membayarkan utang itu sedikit demi sedikit. 

Sebagian pemilik utang bahkan menolak ketika kami ingin membayar. Mereka bilang, "Ibumu sudah terlalu baik. Uang itu kami anggap sedekah." Tapi kami bersikeras membayarnya.

Bagi kami, ini bukan soal uang. Ini tentang menjaga nama baik ibu, tentang menenangkan hati kami sendiri. Kami tidak ingin ada yang tersisa. Kami ingin ibu bisa beristirahat dengan tenang.

Namun saya tahu tidak semua orang berada dalam situasi yang sama. Ada anak-anak yang tidak mampu membayar. Ada yang bahkan tidak tahu orangtuanya punya utang. 

Ada yang merasa tertekan karena ditagih terus-menerus oleh kreditur, padahal mereka sendiri tidak pernah menerima warisan sepeser pun. Situasi-situasi ini seringkali menciptakan konflik dalam keluarga dan dalam batin.

Saya percaya, dalam situasi seperti ini, keterbukaan komunikasi sangat penting. Baik di antara saudara-saudara, maupun dengan para kreditur. 

Jika memang tidak ada kemampuan untuk membayar, jangan diam. Bicarakan. Banyak kreditur yang bisa diajak kompromi, bahkan memaafkan. Jika ada niat baik, biasanya jalan akan terbuka.

Ada juga pilihan untuk menolak warisan secara resmi, jika memang beban utangnya terlalu besar dan tidak ada harta peninggalan. Ini bisa dilakukan melalui pengadilan. 

Mungkin terdengar kejam---menolak warisan orangtua sendiri---tapi hukum memberi ruang untuk itu, karena pada dasarnya tidak ada kewajiban yang memaksa anak-anak menanggung utang pribadi orangtua yang sudah wafat.

Namun jika kita bisa, jika kita mampu secara finansial dan batin, melunasi utang orangtua adalah bentuk bakti yang tak ternilai. Kita memang tak bisa membalas seluruh kasih sayang mereka selama hidup, tapi mungkin kita bisa memberikan mereka kedamaian terakhir, dengan menyelesaikan urusan dunia yang belum sempat mereka tuntaskan.

Pada akhirnya, setiap keluarga punya cerita sendiri. Setiap anak punya pertimbangannya. Tapi satu hal yang saya percaya: selama niat kita tulus, baik untuk ibu dan bapak yang telah pergi, maka apapun keputusan kita akan menemukan jalannya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun