Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selingkuh di Tempat Kerja: Romansa, Risiko, dan Reputasi

21 Juli 2025   16:20 Diperbarui: 21 Juli 2025   16:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah perselingkuhan antara seorang CEO dan kepala HRD yang tertangkap kamera sedang menonton konser Coldplay belum lama ini memang menghebohkan. Tidak hanya karena status dan posisi mereka di lingkungan profesional, tetapi juga karena hubungan mereka diketahui bukan sekadar kerja sama biasa. 

Tiba-tiba, percakapan di berbagai platform digital pun memanas, mulai dari gosip, teori konspirasi, hingga diskusi serius soal etika dan profesionalitas. Dalam riuhnya sorotan publik terhadap kasus ini, kita dihadapkan pada satu kenyataan: perselingkuhan di tempat kerja bukan hal baru, dan akan selalu menjadi isu yang rumit.

Di balik meja rapat, dalam lembur proyek, dan di balik percakapan kasual saat makan siang, relasi personal bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Terkadang ini murni karena kedekatan emosional yang terbangun melalui interaksi yang intens. 

Namun ketika perasaan itu berkembang di antara dua orang yang sudah berpasangan atau menikah, kita masuk ke dalam wilayah yang gelap dan berisiko: perselingkuhan di tempat kerja. Dan ketika hubungan itu terbongkar, pertaruhannya bukan hanya cinta dan keluarga, tapi juga karier, kredibilitas, dan masa depan.

Ketika Rasa Tumbuh di Balik Deadline

Banyak dari kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan rekan kerja daripada dengan pasangan di rumah. Tidak heran jika tempat kerja menjadi ladang subur bagi tumbuhnya hubungan personal. 

Sering bertemu, saling mendukung dalam tekanan kerja, dan berbagi cerita kehidupan bisa menumbuhkan kedekatan emosional yang intens. Di sinilah benih-benih ketertarikan kerap muncul. Tanpa disadari, rasa kagum profesional berubah menjadi perhatian pribadi. 

Komplimen soal performa kerja berubah menjadi pujian atas penampilan. Lalu pertemanan biasa berubah menjadi rasa yang sulit dijelaskan.

Bagi sebagian orang, batas antara profesional dan personal bisa kabur. Dan ketika seseorang sedang berada dalam hubungan pernikahan yang dingin, renggang, atau tidak lagi membuatnya merasa dihargai, perhatian dari rekan kerja bisa terasa seperti oase di tengah gurun. 

Sayangnya, banyak yang tidak sadar bahwa oase itu semu---dan berisiko menjerumuskan.

Beberapa kasus menunjukkan bahwa selingkuh di tempat kerja bukan semata urusan cinta. Ada pula yang melibatkan relasi kuasa---misalnya atasan dengan bawahan. 

Di sinilah permasalahan menjadi semakin kompleks. Apakah hubungan itu tumbuh secara sukarela? Apakah tidak ada tekanan implisit? Apakah bawahan merasa bisa menolak? 

Di mata publik dan hukum, relasi semacam ini rentan dikritik karena berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan ketidakadilan dalam sistem kerja.

Namun bahkan jika hubungan itu dijalani secara sukarela, tetap saja akan menimbulkan konsekuensi besar. Reputasi profesional bisa hancur seketika. 

Di era media sosial seperti sekarang, satu foto atau satu gosip bisa menyebar lebih cepat daripada klarifikasi. Tak sedikit perusahaan yang akhirnya memberhentikan salah satu atau kedua pihak yang terlibat demi menjaga integritas dan kepercayaan publik. 

Dan jika hubungan itu diketahui oleh pasangan sah, dampaknya tentu jauh lebih dalam. Bukan hanya soal reputasi, tetapi soal keluarga, anak-anak, dan kehidupan pribadi yang porak-poranda.

Antara Risiko dan Realita

Dalam banyak perusahaan, hubungan antarpegawai sebenarnya tidak dilarang. Tetapi ketika hubungan itu melibatkan status pernikahan yang sudah sah, atau melibatkan atasan dan bawahan langsung, risikonya jauh lebih besar. 

Bahkan di perusahaan multinasional, hubungan semacam ini wajib dilaporkan untuk menghindari konflik kepentingan. Ini menunjukkan bahwa perusahaan memahami betul betapa seriusnya dampak dari romansa di tempat kerja.

Namun demikian, realita di lapangan tak semudah peraturan di atas kertas. Banyak orang merasa malu atau enggan mengakui bahwa mereka sedang dekat dengan rekan kerja, apalagi jika salah satunya atau keduanya sudah menikah. 

Hubungan semacam ini kemudian dijalani secara diam-diam, disembunyikan dari lingkungan kantor, hingga suatu saat terbongkar dengan cara yang tidak diinginkan. Pada titik ini, bukan hanya hubungan yang runtuh, tetapi juga kepercayaan dari rekan-rekan kerja lain.

Kasus-kasus semacam ini bukan hal langka. Kita tentu pernah mendengar atau bahkan mengalami sendiri cerita tentang rekan kerja yang terlibat dalam hubungan diam-diam. 

Sebagian berhasil mempertahankan rahasia itu sampai bertahun-tahun. Tapi banyak pula yang akhirnya terbongkar, dan menimbulkan drama besar yang merugikan banyak pihak. 

Bahkan dalam beberapa kasus, kantor menjadi tempat yang tidak lagi kondusif karena konflik personal menyebar menjadi ketegangan profesional.

Pertanyaan penting kemudian muncul: mengapa orang berani mengambil risiko sebesar itu? Jawabannya bisa bermacam-macam. Ada yang karena merasa hidupnya kosong dan menemukan kebahagiaan baru di tempat kerja. Ada yang merasa hubungannya dengan pasangan sudah tidak bisa diperbaiki, dan melihat rekan kerja sebagai "peluang baru". 

Ada pula yang merasa tertantang oleh hal-hal terlarang. Apapun alasannya, satu hal pasti: setiap tindakan memiliki konsekuensi. Dan dalam kasus perselingkuhan, konsekuensinya bisa sangat mahal.

Bagi mereka yang pernah selingkuh di tempat kerja, banyak yang akhirnya menyesal. Bukan hanya karena hubungan itu berakhir buruk, tetapi juga karena harus kehilangan pekerjaan, nama baik, dan bahkan keluarganya sendiri. 

Tak sedikit pula yang merasa bahwa hubungan yang awalnya penuh gairah itu berubah menjadi beban ketika harus disembunyikan dan dijalani dalam tekanan.

Sementara itu, bagi pihak yang diselingkuhi, rasa sakitnya sering kali berlipat. Selain dikhianati secara emosional, mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa semua orang di lingkungan kerja pasangan tahu lebih dulu tentang perselingkuhan itu. 

Rasa malu, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu. Ini bukan hanya tentang kehilangan kepercayaan, tetapi juga kehilangan martabat.

Memilih Jalan Pulang atau Menikung Lebih Dalam?

Selingkuh di tempat kerja, betapapun banyaknya alasan yang bisa dibuat, pada akhirnya tetap sebuah bentuk pengkhianatan. Dalam hubungan apa pun, komitmen adalah fondasi utama. 

Ketika seseorang memutuskan untuk melangkah ke luar dari komitmen itu, apalagi dengan seseorang yang ada di lingkungan kerja, maka ia sedang menggali dua kuburan: satu untuk hubungan pribadinya, dan satu lagi untuk kariernya sendiri.

Namun manusia bukan robot. Kita bukan makhluk tanpa perasaan yang bisa mengontrol semuanya dengan logika. Akan ada saatnya kita merasa rapuh, merasa terabaikan, dan mencari pelarian. 

Akan ada saatnya seseorang masuk ke dalam hidup kita dan membuat kita mempertanyakan apa yang selama ini kita jalani. Tapi di titik inilah karakter diuji. Di titik inilah komitmen diuji. Apakah kita memilih jujur pada pasangan dan memperbaiki hubungan yang retak? Ataukah kita memilih untuk diam-diam membangun relasi baru yang semu?

Tidak ada jawaban mudah. Tapi satu hal yang perlu diingat: hubungan yang dibangun dari pengkhianatan jarang sekali berakhir bahagia. Dan luka yang ditinggalkan oleh perselingkuhan tidak hanya menimpa pasangan, tetapi juga diri kita sendiri. 

Bahkan jika hubungan itu tidak terbongkar, beban psikologis dan tekanan emosional bisa jadi menghantui setiap hari. Hidup dalam kebohongan bukanlah kehidupan yang damai.

Bagi siapa pun yang saat ini merasa sedang berada di ambang godaan untuk selingkuh di tempat kerja, berhentilah sejenak dan pikirkan: apakah rasa yang sesaat ini layak menghancurkan semua yang telah dibangun selama bertahun-tahun? Apakah perasaan ini akan tetap indah ketika harus dijalani dalam rahasia, ketakutan, dan ancaman kehilangan semuanya?

Sebaliknya, bagi mereka yang pernah jatuh dan kini mencoba memperbaiki diri, masih ada harapan. Manusia bisa belajar dari kesalahan. 

Tetapi belajar berarti juga bertanggung jawab, meminta maaf dengan tulus, dan tidak mengulangi luka yang sama. Proses membangun kembali kepercayaan memang berat, tetapi lebih baik mencoba memperbaiki daripada terus hidup dalam keterpurukan.

Di era sekarang, di mana batas antara profesional dan personal makin tipis, penting bagi kita untuk menetapkan batas yang sehat. Tidak semua perhatian harus dibalas. Tidak semua kedekatan harus diikuti dengan perasaan. Tidak semua rasa nyaman berarti cinta. Terkadang, menjaga jarak adalah bentuk cinta paling tulus---bukan hanya untuk pasangan, tetapi juga untuk diri kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun