Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 disusun sebagai fondasi hukum untuk melindungi hasil cipta dan hak ekonomi para pencipta di tengah arus digitalisasi dan globalisasi. Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat, muncul juga praktik-praktik penegakan hak cipta yang menimbulkan kegelisahan sosial, terutama ketika hukum masuk ke ruang-ruang personal dan tradisional, seperti acara pernikahan atau hajatan budaya.
Fenomena tersebut mencuat kembali ke permukaan melalui uji materi yang diajukan oleh Nazril Ilham (Ariel Noah) dan kawan-kawan, yang mempertanyakan rigiditas penerapan hak cipta dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah letak persoalan utama: norma hukum yang ditulis dalam kerangka legalistik sering kali tidak berjalan selaras dengan nalar publik yang dibentuk oleh nilai, tradisi, dan akal sehat.
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan tersebut untuk mengkaji bagaimana dan sejauh mana Undang-Undang Hak Cipta mampu (atau gagal) mengakomodasi dimensi rasionalitas sosial. Penulis berargumen bahwa tanpa pertimbangan rasional dalam penerapan norma, hukum berpotensi kehilangan legitimasi dan menjelma menjadi alat represif.Â
Melalui pendekatan normatif, konseptual, dan perbandingan internasional, tulisan ini bertujuan untuk menawarkan suatu keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan penghormatan terhadap nalar publik.
 Landasan Teori dan Kerangka Konseptual
Dalam memahami ketegangan antara norma hukum dan rasionalitas publik dalam konteks hak cipta, terdapat beberapa kerangka teori yang relevan untuk dijadikan pijakan analitis. Pertama, teori keadilan hukum klasik seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles menyatakan bahwa hukum yang baik bukan hanya harus sah secara formal, tetapi juga adil secara substantif dan dapat diterima oleh akal sehat.Â
Dalam praktik modern, prinsip ini berkembang menjadi doktrin proportionality, yang digunakan untuk menguji apakah suatu tindakan hukum atau regulasi sesuai, pantas, dan seimbang dengan tujuan yang ingin dicapai.
Prinsip proportionality ini banyak diadopsi dalam sistem hukum Eropa dan mulai diadaptasi pula dalam peradilan konstitusional Indonesia, termasuk dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.Â
Dalam konteks UU Hak Cipta, pertanyaan yang patut diajukan adalah: apakah penegakan hak cipta terhadap aktivitas sosial seperti pernikahan proporsional dengan tujuan perlindungan hak ekonomi pencipta? Jika tidak, maka norma tersebut patut dipertimbangkan untuk ditafsir ulang atau direvisi.
Selain itu, penting juga untuk membedakan antara norma hukum dan nalar sosial. Norma hukum merupakan peraturan tertulis yang bersifat mengikat secara formal dan dapat dipaksakan oleh negara. Sementara itu, nalar sosial tumbuh dari praktik, kebiasaan, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.Â
Ketika norma hukum menyimpang terlalu jauh dari nalar sosial, akan timbul ketegangan, resistensi, dan bahkan pembangkangan diam-diam dari masyarakat. Hal ini menciptakan legal gap antara teks dan konteks.