Pada awal Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengejutkan dunia dengan pengumuman pemberlakuan tarif impor sebesar 32persen terhadap Indonesia, efektif mulai 1 Agustus.
Bukan sekadar beban ekonomi, kebijakan proteksionis ini adalah titik balik---jika dikelola dengan strategi, tekanan dari luar justru bisa memicu transformasi diplomasi dagang Tanah Air.
Tarik-ulur negosiasi yang dilakukan Menko Airlangga Hartarto sejak dari Rio dan berlabuh di Washington DC menunjukkan satu hal: Indonesia punya ruang untuk bergerak, dan peluang itu tak boleh dilewatkan.
Namun, tantangannya juga nyata. Ruang negosiasi disebut "sangat sempit", dan tarif ini menambah beban ekspor utama kita seperti elektronik, tekstil, alas kaki, dan produk kelapa sawit .
Jika kita hanya terpaku pada tekan-menekan tarif saja, kemungkinan besar hasilnya hanya mitigasi semata. Di sinilah letak benih diplomasi dagang baru yang sungguh layak untuk digali.
Diplomasi Dagang yang Berorientasi Swap Market: Dari Proteksi ke Diplomasi Proaktif
Respon Indonesia bukan membalas identik atau gabung tarif, tetapi dengan "lobi strategis" dan "nego ulang intensif".
Usulan pembelian pesawat Boeing oleh Garuda dan impor gandum oleh Indofood sebagai komoditas timbal balik tunduk pada tarif, mencerminkan diplomat dagang Indonesia sudah menggeser taktik ke arah diplomasi ekonomi---di mana "komitmen pasar" menjadi alat tawar .
Lebih jauh, keterlibatan Indonesia dalam struktur multilateral seperti BRICS kini jadi medan baru diplomasi dagang.
Dalam forum hijau BRICS, Indonesia tampil lebih percaya diri, mengklaim dirinya bukan hanya pengekor tapi pemimpin jalur Non-Blok generasi baru.
Aksi ini memperluas jaringan diplomasi, membuka akses pasar alternatif sekaligus memberi tekanan geopolitik balik terhadap AS.