Rabu malam, 2 Juli 2025, menjadi hari kelabu bagi transportasi laut nasional. KMP Tunu Pratama Jaya yang berlayar melintasi Selat Bali dilaporkan tenggelam, membawa 65 orang. Hingga kini, 30 orang berhasil diselamatkan, enam tewas, dan 29 masih dinyatakan hilang dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.Â
Proses pencarian oleh SAR gabungan, termasuk TNI Angkatan Laut, berjalan intens, dengan harapan menyentuh titik terang. Namun tragedi ini bukan sekadar bencana tunggal---ia merupakan gema dari kegagalan sistem pengawasan dan keselamatan kelautan yang selama ini diabaikan.
Duka dan kecemasan meliputi kerabat korban, sementara masyarakat luas mempertanyakan: mengapa insiden sebesar ini masih berulang? Apakah negara sudah benar-benar serius menangani standar keselamatan laut? Atau justru memperlakukan tragedi seperti ini sebagai rutinitas?Â
Kritik pedas dari Anggota Komisi I DPR, Soleh, menyebutkan bahwa kasus ini harus menjadi titik tolak evaluasi menyeluruh---dari kapal dan awak hingga koordinasi institusi pelabuhan dan patroli laut (KOMPAS.com). Apabila dibiarkan, ini bukan hanya masalah teknis semata, tapi berdampak pada kepercayaan publik terhadap negara dan keselamatan warga.
Sistem Pengawasan, Manajemen, dan Budaya Keselamatan
Pertama-tama, mari soroti lemah dan fragmentasi sistem pengawasan maritim. Laut, meski tampak luas dan bebas, sebenarnya adalah wilayah yang butuh observasi terus-menerus. Jalur penyeberangan seperti Selat Bali sangat padat aktivitas, dengan kapal penumpang, kargo, hingga nelayan yang saling berbagi lalu lintas.Â
Namun, sinergi antarlembaga seperti Basarnas, KSOP, TNI AL, dan Kemenhub tampak masih sekadar formalitas. Tidak ada mekanisme one-stop monitoring yang real time, mampu mendeteksi potensi risiko dan mencegah kecelakaan---apa lagi lewat integrasi data kondisi cuaca, pola arus, hingga inspeksi kapal secara digital.
Kedua, standar operasional kapal dan kesiapan awak kapal dirasa tak cukup dulu jadi sorotan. Apakah kapal KMP Tunu layak laut? Informasi resmi masih simpang siur, tapi pernyataan DPR menuntut audit teknis mendalam dan verifikasi sertifikasi.Â
Kru kapal juga harus dilatih menghadapi kondisi emergensi. Latihan evakuasi rutin untuk situasi kebocoran atau kebakaran, manuver evakuasi di laut bergelombang---apakah ini sudah menjadi kebiasaan atau hanya formalitas seremonial?Â
Kesiapan ini dituntut bukan hanya untuk memenuhi regulasi, melainkan sebagai budaya keselamatan yang tertanam dalam keseharian pelayaran.
Ketiga, manajemen pelabuhan dan koordinasi di darat menjadi lembar evaluasi berikutnya. Pelabuhan sebagai titik awal dan akhir pelayaran adalah tulang punggung manajemen risiko---sebuah jaringan yang harus menjaga bahwa manifest tercatat akurat, kapasitas kapal sesuai, dan inspeksi berjalan profesional.Â