Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kecelakaan KMP Tunu dan Gagalnya Sistem Pengawasan Maritim

7 Juli 2025   16:05 Diperbarui: 7 Juli 2025   16:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KMP Tunu Pratama Jaya. (Foto: ANTARA/HO)

Kasus ini mengerucut pada manajemen manifest yang mencatat 65 orang---apakah sebelum berangkat dilakukan pengecekan suhu air, kondisi mesin, muatan, hingga cuaca terkini? Jika manifest tidak sesuai kondisi sesungguhnya, bukan masalah teknis kapal semata, melainkan manajemen rantai yang rapuh.

Lebih jauh, hal paling substansial adalah budaya keselamatan. Setiap institusi, baik di laut maupun darat, harus mengadopsi mindset proaktif: mencegah lebih baik daripada menanggulangi. 

Bukan saat kapal mulai karatan, inspeksi dilakukan; bukan setelah awak kelabakan, latihan darurat dilaksanakan terakhir menit; bukan ketika korban sudah hilang, SAR dikerahkan. 

Budaya ini membutuhkan pengawasan rutin, audit independen, hukuman tegas, serta reward bagi patuh regulasi. Hingga kini, budaya ini belum terlihat diterapkan secara konsisten.

Tantangan dan Rekomendasi Sistemik

Dengan tragedi ini, kita seharusnya tidak hanya menangisi kerugian manusia, tetapi segera bergerak membenahi sistem---mulai dari revisi regulasi, kepastian pengawasan, hingga integrasi teknologi.

Pertama, pengawasan maritim harus ditransformasi ke dalam platform digital real time. Semua kapal wajib melengkapi AIS (Automatic Identification System), fasilitas cuaca dan prediksi arus harus tersedia di integrasi dashboard KSOP--TNI AL--Basarnas. 

Jika cuaca ekstrem diprediksi, kapal dilarang berlayar atau harus melapor ulang. Sinergi ini bukan sekadar slogan kekinian, melainkan kebutuhan nyata.

Kedua, standar operasional harus diubah menjadi mata rantai audit berkala tanpa toleransi. Kapal harus lolos verifikasi standar kelayakan laut setiap enam bulan dengan sertifikat digital yang langsung terkoneksi ke pelabuhan keberangkatan. 

Kru harus melewati pelatihan sertifikasi ulang, termasuk simulasi keadaan darurat sesuai standar internasional CMID (Cleaning Manual dan Emergency Procedures). Pelatihan formal tanpa praktik hanya menambah angka di kertas, bukan kesiapsiagaan.

Ketiga, manajemen pelabuhan harus profesional dengan manajemen informasi terpadu. Semua pelabuhan, mulai kecil hingga besar, wajib memakai sistem manifest elektronik yang terkoneksi ke BMKG, Kemenhub, dan instansi pertahanan---sehingga semua pihak tahu rute, kapasitas, kondisi, dan riwayat keselamatan setiap kapal. Pelabuhan menjadi pusat kontrol, bukan sekadar terminal manut.

Keempat, budaya keselamatan harus menjadi fondasi operasional. Ini berarti institusi terkait wajib mengadakan pendidikan terus-menerus dan audit independen oleh lembaga ketiga---apakah itu universitas, lembaga sertifikasi maritime global, atau NGO maritime. Kapal dan pelabuhan patuh diberi insentif, pelanggaran berat kena sanksi administratif hingga pencabutan izin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun