Sementara itu, Tiongkok merespons tekanan eksternal dengan memperkuat orientasi ke dalam melalui strategi "dual circulation", yang menekankan penguatan pasar domestik dan pengembangan teknologi dalam negeri guna mengurangi ketergantungan terhadap rantai pasok global.
Alih-alih mendorong keterbukaan lebih lanjut, kekuatan-kekuatan besar ini kini berlomba membangun blok-blok ekonomi eksklusif dan menegosiasikan ulang kesepakatan perdagangan untuk memperoleh posisi tawar yang lebih tinggi.
Fragmentasi ini semakin diperkuat oleh kebijakan keamanan nasional yang disisipkan ke dalam kebijakan ekonomi, menjadikan arus barang, jasa, dan modal tidak lagi murni ditentukan oleh logika pasar, melainkan oleh pertimbangan strategis.
Dampak dari gelombang proteksionisme ini dirasakan secara asimetris. Negara-negara dengan kapasitas fiskal dan teknologi tinggi mampu mendukung industri dalam negerinya secara agresif, sementara negara-negara berkembang justru terdesak oleh tekanan struktural baru.
Ketika pasar ekspor mulai tertutup dan FDI menurun drastis, daya saing industri di negara berkembang menurun karena tidak memiliki akses terhadap pembiayaan murah dan teknologi mutakhir. Kebijakan-kebijakan protektif yang semula dimaksudkan untuk merespons risiko global, dalam praktiknya menciptakan eksklusi baru yang memperlebar kesenjangan antarnegara.
Proteksionisme, yang dahulu dianggap sebagai anomali, kini menjadi norma baru dalam tatanan ekonomi dunia yang semakin terfragmentasi.
 Dampak terhadap Negara Berkembang
Penurunan tajam FDI di tengah meningkatnya proteksionisme global membawa konsekuensi yang serius bagi negara-negara berkembang. Selama beberapa dekade terakhir, banyak dari negara ini telah menyesuaikan struktur ekonominya untuk menarik modal asing, dengan menawarkan insentif fiskal, merombak regulasi pasar tenaga kerja, dan menyesuaikan kebijakan moneter demi menciptakan iklim investasi yang kompetitif.
Ketika arus FDI mengering, fondasi model pembangunan semacam ini mulai terguncang. Proyek-proyek besar yang sebelumnya dijanjikan oleh investor asing---dari infrastruktur transportasi hingga kawasan industri berbasis ekspor---mengalami stagnasi atau pembatalan, menyisakan beban fiskal yang tinggi dan ekspektasi ekonomi yang tak terpenuhi.
Situasi ini memperparah kesenjangan struktural yang sudah ada. Ketimpangan dalam distribusi investasi tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga di dalam negara itu sendiri. Wilayah yang semula tumbuh berkat kehadiran industri asing kini menghadapi peningkatan pengangguran, pelemahan konsumsi rumah tangga, dan ketegangan sosial.
Pemerintah, dalam kondisi fiskal yang terbatas, dihadapkan pada dilema antara menjaga stabilitas makroekonomi atau memenuhi tuntutan sosial yang meningkat. Dalam banyak kasus, tekanan untuk mempertahankan nilai tukar dan menjaga arus keluar modal justru mempersempit ruang kebijakan yang dibutuhkan untuk merespons krisis pembangunan ini.
Di sisi lain, ketidakstabilan geopolitik yang menyertai gelombang proteksionisme juga mempersulit negara-negara berkembang dalam membangun kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Sanksi ekonomi, perang dagang, dan fragmentasi sistem keuangan internasional membuat upaya diversifikasi mitra dagang menjadi semakin menantang.