Dalam konteks ini, AQI menjadi semacam "rapor merah" yang menandakan bahwa kota telah gagal memenuhi salah satu syarat dasar keberhunian: udara bersih.
Realitas Jakarta dan Kota-Kota Besar Lainnya
Pada hari yang sama saat AQI Jakarta mencapai 124, kota Krian di Jawa Timur mencatat angka 172, Tangerang Selatan 149, dan Bandung 132---semuanya termasuk dalam kategori tidak sehat.Â
Meski tingkat polusi bervariasi, pola umumnya sama: pertumbuhan kota yang tidak diimbangi dengan keberlanjutan lingkungan.
Jakarta, dengan kepadatan penduduk lebih dari 15.000 jiwa per kilometer persegi, menghadapi tantangan akut: kendaraan bermotor pribadi mendominasi jalanan, emisi industri tak terpantau secara konsisten, dan pemanfaatan energi bersih masih sangat minim.Â
Ruang terbuka hijau yang idealnya mencakup minimal 30% dari luas kota, kini hanya sekitar 9,98%.
Polusi udara bukan semata-mata akibat teknis, melainkan juga akibat dari desain kota yang tidak manusiawi---yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek ketimbang kesejahteraan jangka panjang warga. Seolah kota dirancang bukan untuk ditinggali, melainkan untuk dipacu terus menerus hingga melewati batas daya dukungnya.
Konsekuensi Sosial dan Psikologis
Ketika udara kota menjadi racun yang mengambang tanpa warna dan bau, maka dampaknya tidak hanya fisik, tetapi juga meresap ke dalam aspek psikologis dan sosial warga.Â
Penelitian dari Harvard T.H. Chan School of Public Health (2023) menunjukkan bahwa paparan polusi udara kronis berkaitan erat dengan peningkatan gangguan kecemasan, depresi, dan penurunan fungsi kognitif---khususnya pada anak-anak dan lansia.
Di Jakarta, kelompok-kelompok rentan seperti pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, dan anak-anak sekolah menjadi garda depan yang setiap hari harus menghirup udara dengan partikel halus (PM2.5) melebihi ambang batas WHO.Â
Masker dan air purifier mungkin tersedia bagi mereka yang mampu, namun tidak bagi semua orang.
Inilah bentuk ketimpangan lingkungan yang jarang dibahas: siapa yang berhak atas udara bersih? Kenyataan bahwa kualitas udara kini menjadi "privilege" menunjukkan betapa dalamnya ketidakadilan struktural yang tercipta. Kota yang ideal seharusnya menghapuskan perbedaan ini---bukan memperparahnya.