Salah satu komponen penting dari pendidikan inklusif adalah kesiapan guru. Guru bukan hanya menjadi fasilitator pembelajaran, tetapi juga agen utama perubahan budaya sekolah. Di SMP Muhammadiyah 2 Malang, misalnya, guru-guru menunjukkan peran luar biasa dalam membangun kepercayaan diri siswa inklusi. Mereka tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi teman, pendamping, bahkan motivator bagi siswa berkebutuhan khusus. Lingkungan belajar pun menjadi lebih ramah, terbuka, dan menghargai perbedaan (Azizah, 2019).
Sayangnya, keberhasilan seperti ini masih menjadi pengecualian. Tidak semua sekolah memiliki guru yang mendapatkan pelatihan tentang pendidikan inklusif. Bahkan, sebagian besar tenaga pendidik belum pernah sekalipun mengikuti pelatihan untuk menangani siswa ABK. Di daerah-daerah terpencil, masalah ini diperparah dengan ketiadaan dukungan teknis, termasuk tidak tersedianya tenaga pendamping khusus (shadow teacher).
Masalah lain yang tak kalah mendasar adalah soal fasilitas. Pendidikan inklusif menuntut adaptasi lingkungan fisik sekolah: dari akses kursi roda, alat bantu belajar, hingga ruang-ruang khusus untuk terapi atau konseling. Penelitian menunjukkan bahwa hingga kini belum ada standar nasional tentang fasilitas wajib di sekolah inklusi. Akibatnya, sekolah sering kali meraba-raba atau bahkan mengabaikan kebutuhan ini. Mereka mengandalkan kreativitas sendiri atau bantuan masyarakat untuk menyesuaikan kondisi ruang belajar (Utami & Putra, 2020).
Ketidakhadiran negara juga tercermin dalam minimnya data. Banyak daerah bahkan tidak memiliki data akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Tanpa data yang valid, tidak mungkin menyusun perencanaan program, anggaran, atau intervensi kebijakan yang tepat sasaran. Hal ini menyebabkan anak-anak difabel di banyak tempat menjadi kelompok yang tak terlihat dalam sistem pendidikan formal---invisible children.
Padahal, partisipasi aktif masyarakat semestinya menjadi pelengkap peran negara, bukan pengganti. Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang adil dan setara. Ketika negara terlalu sering "mendelegasikan" urusan pendidikan inklusif kepada masyarakat, pesan yang sampai adalah pengunduran diri dari tanggung jawab publik.
Hardiknas 2025 seharusnya menjadi lebih dari sekadar seremoni tahunan. Ini adalah saat refleksi nasional untuk meninjau kembali keseriusan kita dalam membangun sistem pendidikan yang benar-benar inklusif. Sebab tanpa evaluasi jujur dan koreksi menyeluruh, kita hanya akan terus mengulang janji-janji pendidikan yang tak pernah menyentuh realitas anak-anak yang paling rentan.
Dalam konteks ini, negara perlu melakukan beberapa langkah konkret. Pertama, memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam menerapkan pendidikan inklusif, baik melalui pelatihan, penyediaan modul teknis, maupun asistensi implementasi. Kedua, meningkatkan alokasi anggaran khusus untuk penyesuaian fasilitas sekolah agar lebih ramah terhadap ABK. Ketiga, memperbaiki sistem pendataan anak berkebutuhan khusus secara terintegrasi antarkementerian dan pemerintah daerah. Keempat, menstandardisasi pelatihan guru tentang pendidikan inklusif sebagai bagian dari program peningkatan kompetensi.
Lebih dari itu, perubahan paradigma pendidikan juga penting. Pendidikan inklusif bukan sekadar tentang menyatukan anak normal dan anak berkebutuhan khusus dalam satu ruang. Ia adalah upaya sistematis untuk menghormati keragaman kemampuan, latar belakang, dan gaya belajar. Ia menolak diskriminasi dalam bentuk apa pun, dan menegaskan bahwa semua anak---tanpa kecuali---punya hak dan potensi untuk tumbuh dalam sistem yang mendukung.
Saat negara benar-benar hadir, masyarakat akan menjadi mitra, bukan beban. Inisiatif warga seperti Rumah Inklusif bisa menjadi model yang diduplikasi dan dikuatkan oleh negara, bukan sekadar dibiarkan berdiri sendiri. Kolaborasi akan berjalan kuat ketika negara menjadi fondasi, dan masyarakat menjadi jaring penopang.
Kini, momentum Hardiknas 2025 harus dijadikan cermin nasional. Bukan hanya untuk merayakan, tetapi juga untuk bertanya: sudahkah kita benar-benar hadir untuk semua anak Indonesia?
Jawabannya, sejauh ini, masih belum. Namun, masih ada waktu untuk memperbaiki.