Tak bisa dipungkiri, ada anak-anak yang berubah menjadi lebih teratur dan patuh setelah menjalani pendidikan di lingkungan semi-militer. Namun, perubahan seperti ini sering kali bersifat semu. Anak menjadi patuh karena takut dihukum, bukan karena memahami pentingnya nilai yang ditanamkan.
Dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa menimbulkan dampak psikologis: rendahnya kepercayaan diri, ketergantungan pada otoritas, hingga kemarahan yang dipendam.Â
Lebih dari itu, ada risiko anak menjadi "baik" hanya di depan, namun tetap melawan di balik layar. Disiplin yang ditanamkan tidak menyentuh akar, karena tidak dibangun dari kesadaran.
Kita juga perlu mencermati bahwa pendidikan karakter bukanlah proyek jangka pendek. Ia bukan hasil dari satu semester di barak atau satu tahun di sekolah berasrama. Karakter dibangun dari hubungan, pengulangan, keteladanan, dan proses yang konsisten.
Kolaborasi, Bukan Pelimpahan
Daripada menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter pada sekolah, lebih bijak jika orangtua dan sekolah membangun relasi kolaboratif. Komunikasi rutin, keterlibatan aktif dalam proses pendidikan, serta kesediaan orangtua untuk mendengarkan dan belajar kembali adalah kunci.
Sekolah bisa menjadi partner strategis, bukan tempat penitipan. Ketika anak berperilaku buruk, sekolah seharusnya tidak hanya memberi laporan, tapi juga mengundang orangtua berdialog.Â
Begitu pula sebaliknya, orangtua tidak boleh hanya mengandalkan sekolah untuk "memperbaiki" anak.
Dalam sistem pendidikan yang ideal, guru bukan hanya pengajar, tapi pembimbing karakter. Namun peran ini akan timpang jika tidak disokong oleh nilai-nilai serupa di rumah.Â
Konsistensi antara rumah dan sekolah adalah fondasi kokoh bagi tumbuhnya karakter anak.
Orangtua Juga Perlu Dididik
Fakta yang sering luput dari perhatian adalah: banyak orangtua yang belum siap menjadi pendidik karakter. Mereka belum punya kesabaran, pengetahuan, atau bahkan pola komunikasi yang sehat. Maka, solusi bukan pada pelimpahan ke lembaga lain, tapi pada peningkatan kapasitas pengasuhan.
Pelatihan parenting, komunitas belajar keluarga, hingga pendampingan psikologis bisa menjadi jalan keluar. Di sinilah peran negara, komunitas, dan media juga penting: menyediakan ruang belajar yang ramah bagi orangtua, bukan hanya menghakimi atau menekan.