Mohon tunggu...
Liza En Zelina_271
Liza En Zelina_271 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang

Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ketangguhan APBN dalam Pembayaran Utang

7 Juli 2021   15:20 Diperbarui: 7 Juli 2021   15:36 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ketangguhan  fiskal  (fiscal  sustainability)  sedang  menjadi  topik  diskusi  yang  intensif  dikalangan  ekonomi  makro  baik  di  negara  maju  maupun  negara  berkembang. Pembahasan semakin  ramai terutama  sejak  krisis  ekonomi  yang  terjadi  pada 1997  dan  berulang  lagi tahun 2008. Krisis ekonomi ditandai dengan meningkatnya belanja pemerintah terutama untuk penanggulangan  dampak  krisis.  

Di  sisi  lain,  penerimaan  pemerintah  mengalami  penurunan yang sangat drastis. Keadaan tersebut juga dihadapi oleh Indonesia. Krisis  ekonomi  telah  membuat  pemerintah Indonesia  terbelit  utang  yang  berat  untuk  menutup  defisit  APBN.  Utang  pemerintah  telah bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat  dari  pertambahan  ini  merupakan  utang  dalam  negeri  yang  harus  dibayar  untuk restrukturisasi perbankan.

Kewajiban-kewajiban penutupan utang (bunga dan amortisasi) akan melebihi 40 persen dari penerimaan pemerintah selama beberapa tahun, sedangkan kebutuhan pembiayaan baru(baik dari luar maupun dalam negeri) di tahun-tahun mendatang masih tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran. Hal ini akan sangat membatasi ruang gerak fiskal (fiscalspace) pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan daristimulus fiskal menjadi sustainabilitas fiskal.

Jumlah nominal utang Indonesia yang besar berakumulasi dari warisan rezim pemerintahan sebelumnya. Jika dilihat ke belakang, sejak rezim Orde Lama, Indonesia telah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Utang luar negeri digunakan selama periode pertama tahun 1966 untuk merekonstruksi ekonomi setelah gejolak politik. Setelah itu,  rezim  Orde  Baru  memiliki  negara  donatur  tetap  yang  tergabung  dalam  IGGI(Intergovernmental  Group  on  Indonesia).  Setiap  tahun,  IGGI  menyediakan  dana  (dari  ADB,Bank  Dunia,  IMF,  UNDP,  dan  beberapa  negara  maju  besar)  untuk  membiayai  belanjapembangunan dirancang dalam anggaran negara.

Selama boom  minyak  di  tahun  1970-an  utang  luar  negeri  meningkat  pesat  untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga minyak tinggi diikuti oleh utang yang tinggi pula. Sebagai salah satu negara pengekspor minyak (pada waktu itu), Indonesia memiliki windfall profit  sebagai  semacam  jaminan  untuk  memperoleh  pinjaman  baru  dari  negara-negarakreditor. Utang luar negeri dan pendapatan minyak yang tinggi telah berhasil meningkatkan  pertumbuhan  ekonomi.  Pada  periode  itu,  tingkat  pertumbuhan  ekonomi mencatat rekor tertinggi, pada rata-rata 20 persen setahun.

Pada akhir 1980-an dan selama boom ekonomi pada pertengahan 1990-an, utang luar negeri jangka panjang yang dilakukan oleh perusahaan milik negara khususnya dan swasta.Utang pemerintah meningkat karena PERTAMINA sebagian besar diperluas. BULOG mengambil utang luar negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan sendiri. Akibatnya, rasio pengembalian utang  terhadap  ekspor  pada  akhir  1980-an,  naik  menjadi  rata-rata  40  persen.  Pada  tahun 1992, IGGI dibubarkan dan diganti menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia).

Dalam era reformasi, pemerintah dan DPR membuat keputusan politik yaitu defisit harus dibiayai oleh sumber keuangan domestik. Oleh karena itu, CGI dibubarkan pada tahun 2007. Akibatnya, jumlah stok utang dalam negeri (Surat Berharga Negara) telah melejit hingga sepuluhkali (100 triliun pada tahun 1998 menjadi hampir 1,000 triliun pada tahun 2009). Hanya dalam satu dekade, utang domestik telah lebih tinggi dari utang luar negeri. Akibatnya,bunga utang publik juga meroket. Pembayaran bunga utang dalam negeri pun dua kali lipat lebih besar daripada utang luar negeri.

Sebagian besar utang pemerintah jatuh tempo pada awal tahun 2000. Konsekuensinya, pembayaran suku bunga dan amortisasi menelan porsi sekitar 40 persen dari total pengeluaran APBN. Pengeluaran penting lainnya adalah pendidikan (20 persen) subsidi untuk pupuk danenergi (15 persen) dan transfer ke pemerintah daerah (26 persen). Komposisi pengeluaran diatas, tentu saja, sangat terbatas pada ruang gerak fiskal. Sejalan dengan  pemulihan  ekonomi  yang  terus  berlangsung,  pendapatan  nasional  mengalami  tren pertumbuhan yang mantab (rata-rata 4,5 persen pertahun). Dengan kondisi ini, pada tahun 2000, misalnya, rasio total utang Indonesia mencapai 89 persen dan menurun hingga 32 persenpada tahun 2009.

Dalam hal utang luar negeri, penggeseran beban utang dapat dilakukan melalui penataan ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi utang agar bebannya bisa disebar sesuai dengan maturitas jatuh temponya. Beban tersebut perlu diselaraskan pula dengan beban jatuh tempo utang dalam negeri. Rasio utang luar negeri pemerintah memang menunjukkan  tren  penurunan.

Selain  kesinambungan  fiskal,  pemerintah  juga  perlu  memikirkan  kemungkinan  bebanfiskal yang lain jika perekonomian mengalami gangguan internal. Aktivitas semi-fiskal (quasifiscal) Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD dapat merupakan kewajiban kontingensi jika merekatidak dikelola dengan benar. Keuangan internal Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD memangterpisah  dari  keuangan  negara,  tetapi  aktivitasnya  dalam  utang  dan  bisnis  juga  merupakanpublic and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik sahamdan alasan "too big to fail".

Ketangguhan APBN masih sangat rapuh. Kerapuhan ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi perekonomian yang akan terjadi. Konsekuensinya,  risiko  kerapuhan  fiskal  ini  perlu  diantisipasi  sejak  dini.  Antisipasi  yang  bisa ditempuh adalah (jika keputusan politik memang mendukung) dengan menyusun anggaran mengikuti  sistem  multitahun.  Artinya,  APBN  untuk  3  tahun  ke  depan,  misalnya,  ditetapkan pada tahun yang sedang berjalan. Pengalaman Australia, Kanada, Jerman, dan Belanda dalam penyusunan anggaran negara layak menjadi model yang dapat diadopsi pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun