Mohon tunggu...
Siti Anwaroh
Siti Anwaroh Mohon Tunggu... Mahasiswi | Menyukai literasi dan sastra

Iqro' (Bacalah) Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW berhasil memotivasi dan menjadikan saya menyukai dunia literasi, dari membaca tak jatuh jauh dari menulis yang kemudian hobi ini membawa saya bergabung di Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demo Jalanan, Demo Digital: Dua Wajah Perlawanan Rakyat

30 Agustus 2025   23:07 Diperbarui: 31 Agustus 2025   05:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh media sosial yang menampilkan berita - hasil screenshot dari Instagram berdikari book

Sudah lima hari demo berjalan. Keadaan kian chaos, pemerintah memilih diam, massa semakin marah, bahkan telah memakan korban, termasuk saudara Affan Kurniawan. Kabar duka itu menjadi pemantik eskalasi, merambat dari Jakarta hingga ke berbagai daerah Nusantara.

Semua yang kita saksikan sekarang tidak hanya terjadi karena massa di lapangan, tetapi juga berkat perantara media sosial. Bukan hanya demo fisik, dukungan lain juga mengalir deras dari demo digital. Media sosial menjadi lapangan kedua, tempat orang-orang yang tak bisa turun jalan tetap dapat menyuarakan keresahan.

Thread panjang di Twitter, memo berantai di Instagram, hingga siaran langsung para pendemo menjadi sarana menyebarkan kabar dan aspirasi masyarakat. Dari ojek online sampai ibu rumah tangga bisa turut ambil peran, bukan hanya berpangku pada mahasiswa dan aktivis muda.

Yang menarik, suara yang terus bergaung di media sosial justru lebih panjang umurnya dibandingkan aksi di jalan. Apa yang dibicarakan di ruang digital bisa bertahan berhari-hari, bahkan menahun. Isu yang lahir di media sosial dapat menembus batas geografis, sampai ke pemberitaan internasional.

Dua Sisi Demo Digital

Media sosial adalah milik semua orang. Sebagaimana pepatah mengatakan, "ilmu bergantung pada pemiliknya," demikian pula media sosial: ia bisa jadi alat perjuangan, sekaligus alat pengaburan isu. Buzzer berkeliaran, narasi dipelintir, hoaks dilempar. Dengan kata lain, medsos bisa menjadi amplifier sekaligus distorsi dari demo itu sendiri.

Sebagai amplifier, media sosial memperkuat suara-suara rakyat yang bersatu pada satu tujuan. Dari suara seorang individu yang peduli, lahir ribuan bahkan jutaan suara lain yang merasa terwakili. Dengan hashtag, postingan, thread, dan beragam bentuk ekspresi digital, pesan itu menembus ruang dan waktu.

Namun, sisi gelapnya adalah distorsi. Sifat media sosial yang bebas dan cepat membuat informasi mudah dipelintir oleh pihak berkepentingan atau sekadar demi segepok uang untuk bertahan hidup. Potongan video yang sengaja diedit, isu hoaks yang dilempar, hingga framing opini yang digiring secara sistematis. Pada akhirnya, tidak semua yang beredar adalah kebenaran. Bahkan, isu receh selebriti sering kali dimunculkan sebagai pengalih isu paling laris.

Medsos yang tadinya dianggap medan paling aman kini pun tak lagi bebas bersuara. Pemerintah dengan terang-terangan melakukan pembatasan informasi, dari media daring hingga saluran televisi. Karena itu, sebagai pengguna, kita harus waspada pada narasi yang beredar. Media sosial bukan hanya amplifier yang menumbuhkan dukungan, tapi juga bisa menjadi distorsi yang menyesatkan.

Media sosial yang melahirkan kesadaran sosial juga menuntut adanya kesadaran kolektif. Bukan hanya untuk menyuarakan keresahan, tetapi juga untuk memilah kebenaran di antara arus informasi. Suara yang jernih akan menyatukan rakyat, sementara distorsi hanya akan memecah belah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun