Â
      Kerusuhan paska unjuk rasa di Indonesia telah menjadi pola yang terus berulang, layaknya siklus bencana sosial yang tak kunjung terputus. Setiap kali terjadi unjuk rasa besar, ancaman kerusuhan seolah menjadi bayangan yang selalu mengikuti. Pola yang berulang ini menunjukkan bahwa akar permasalahannya tidak pernah ditangani secara tuntas, sehingga masyarakat terus terjebak dalam lingkaran kekerasan yang sama.
      Pola kerusuhan di Indonesia memiliki karakteristik yang konsisten dimulai dari unjuk rasa damai yang kemudian diinfiltrasi oleh kelompok provokator, disertai penyebaran informasi atau provokasi yang memanaskan situasi, hingga akhirnya memicu kerusuhan massal. Pola ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari kerentanan sistemik yang tidak pernah diperbaiki, seperti kesenjangan ekonomi, lemahnya dialog sosial, ketidakpercayaan publik, dan rendahnya literasi media.
      Dampaknya pun selalu sama setiap kali terjadi. Dampak langsung seperti korban jiwa, kerusakan fasilitas umum, properti, dan trauma psikologis terulang kembali. Sementara dampak tidak langsung seperti polarisasi masyarakat, kerugian ekonomi, dan berkurangnya kepercayaan terhadap institusi negara semakin menguat dengan setiap peristiwa yang terjadi.
      Oleh karena itu, pendekatan Pengelolaan Risiko Bencana (PRB) menjadi semakin mendesak untuk diterapkan. Identifikasi risiko harus mampu memetakan pola-pola kerusuhan yang berulang dan kerentanan yang menyertainya. Pengurangan risiko perlu fokus pada memutus siklus kekerasan melalui pendidikan perdamaian, penguatan hukum, dan pemberdayaan ekonomi. Penanggulangan darurat harus diperkuat dengan sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi pola eskalasi kekerasan sejak dini. Terakhir, pemulihan bukan hanya membangun kembali infrastruktur fisik, harus mencakup upaya rekonsiliasi sosial yang menyeluruh untuk mencegah terulangnya kekerasan di masa depan. Rekonstruksi sistem sosial dan kepercayaan publik melalui proses hukum yang transparan dan akuntabel.
      Polarisasi paska kerusuhan adalah cermin dari ketegangan struktural yang sudah ada sebelumnya  meliputi kesenjangan ekonomi, politik identitas, dan ketidakpercayaan terhadap institusi. Untuk memutus siklus ini, diperlukan upaya rekonsiliasi, edukasi kebhinekaan, dan penguatan sistem yang inklusif. Pengelolaan risiko bencana sosial harus mencakup strategi pemulihan kepercayaan antar kelompok.
      Pola kerusuhan yang berulang adalah tanda kegagalan kolektif dalam belajar dari masa lalu. Hanya dengan menerapkan manajemen risiko yang terpadu dan berkelanjutan, Indonesia dapat memutus rantai bencana sosial yang terus mengancam stabilitas dan perdamaian bangsa. Membangun fondasi masyarakat yang lebih tangguh, adil, dan damai, dimana penyampaian pendapat tidak perlu lagi dibayangi dengan ancaman bencana sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI