Pring artinya bambu.
Setelah hampir tiga tahun, akhirnya saya berkunjung kembali ke tempat ini. Tempat yang hanya ada di hari pasaran tertentu, yaitu minggu wage dan pon. Tempat itu adalah sebuah pasar yang berada di tengah hutan bambu. Namanya Pasar Papringan Ngadiprono, di Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Terletak di dusun Ngadiprono, jarak menuju pasar ini lumayan jauh jika ditarik dari rumah saya. Kurang lebih 14 kilometer. Hanya saja, tidak perlu khawatir sebab akses jalan menuju pasar ini sudah bagus. Tidak perlu khawatir juga akan tersesat karena semakin dekat dengan lokasi, kita akan bertemu rambu-rambu baik berupa penunjuk arah yang tertulis di tampah, pun masyarkat di sana siap menyambut kedatangan pengunjung di sisi jalan.
Mata Uang yang Berlaku adalah Pring
Secara konsep, pasar ini menawarkan keunikan tersendiri. Salah satunya adalah alat pembayaran yang berlaku. Bukan uang yang biasa kita gunakan, di sini kita harus menukarkannya terlebih dahulu dengan "mata uang" pring. Alat transaksi yang juga terbuat dari bambu.
Saat sampai di lokasi, hal yang kita akan jumpai adalah tempat penukaran uang. Ada tiga antrian yang bisa kita pilih, mulai dari penukaran kelipatan 2ribu, 20ribu, dan 50ribu.
Satu pring setara dengan 2ribu rupiah. Untuk kisaran harga produk yang dijual adalah makanan ringan 1-2 pring, makanan berat 3-7 pring, minuman 2-5 pring, hasil tani 1-5 pring, dan kerjainan 2-15 pring.
Saya memilih menukar uang 50ribu, yang artinya saya mendapatkan 25 keping pring. Apakah cukup?
Produk yang Saya Beli di Papringan
Saya mengincar jajanan pasar.
Sebagai pecinta makanan tradisional, tempat ini adalah surganya. Ada banyak makanan/minuman yang bisa dicicipi.
Mulai dari klepon, apem, ketan lopis, jail-jali, dan bakwan singkong adalah beberapa makanan yang saya beli. Sedangkan bapak saya memilih makanan rebusan seperti jagung rebus, pisang rebus, dan kacang rebus.
Itu hanya sebagian kecil. Lainnya ada juga makanan dan minuman yang bisa langsung dinikmati di tempat dengan wadah yang estetik alami seperti dawet ayu, nasi gono, nasi jagung, nasi kuning, dan soto bersama persateannya.
Tidak Ada Plastik di Sini
Pakai daun pisang, bestie.
Hal pertama yang saya incar di sini bukanlah makanan, melainkan keranjang bambu yang akan saya gunakan sebagai tempat makanan yang saya beli.
Ya, tidak ada plastik di sini. Sebagai pengantinya, keranjang bambu dan juga daun pisang yang digunakan. Daun pisang digunakan sebagai pembungkus makanan. Jadi dengan berbelanja di pasar ini, kita telah berperan untuk menjadi eco-friendly. Menarik, ya?
Alunan Gamelan yang Menemani
Yang tak kalah menarik adalah alunan gamelan yang menemani.
Bukan dari rekaman, gamelan yang disuguhkan langsung dimainkan di tempat. Siapa yang memainkannya? Lagi-lagi masyarakat setempat yang beratraksi. Alunan gamelan yang membuat suasana makin syahdu. Membawa kita ke dimensi lain, yang jauh dari hingar bingar perkotaan.
Di titik ini, kamu juga bisa berfoto dengan pemain dan seperangkat gamelannya, loh. Tidak ada patokan harga yang diminta, namun ada tempat kecil yang bisa diisi seikhlasnya sebagai donasi untuk kemajuan kesenian di desa tersebut. Keren!
Begitulah beberapa hal menarik yang saya temukan di pasar papringan. Saya pribadi sangat mengapresiasi desa yang bisa memberdayakan masyarakat sekreatif ini. Mulai dari yang memberi arah, mengatur parkir, yang membuat makanan/minuman, dan menjualnya.
Terima kasih atas sambutan yang hangat. Jadi, kapan kamu ikut mengunjungi pasar ini?
Salam,
Listhia H. Rahman
*konten video terkait papringan bisa dinikmati secara berkala di akun instagram saya.