Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Trouble Maker (Part 6)

21 Maret 2019   11:49 Diperbarui: 21 Maret 2019   11:52 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gimana keadaan kamu, Dit?" Tanyaku pada Radit, siang ini selepas sekolah Pak Ryo mengajakku untuk mengunjungi Radit.

"Baik!" Jawabnya singkat dengan ekspresi datar dan menunduk.

"Papamu sudah menjelaskan semua ke aku."

"Papa?"

"Iya, Pak Ryo." Dan Radit kembali diam. Aku bingung harus melanjutkan percakapan bagaimana lagi.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 5),  Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)

Pak Ryo kemudian turut berabung dalam percakapan, ia memaksa Radit untuk berbicara tapi Radit justru tak bersahabat. Seakan tak mau di bantu, di paksa bagaimanapun Radit tetap bungkam. Pak Ryo kembali keluar, mengangkat telefon dari seseorang yang nampaknya penting.

"Dit! Kamu kenapa sih nggak mau ngomong? Kami ini ada di pihak kamu, kami mau membantu kamu bebas, so please speak up dong, jangan mempersulit keadaan."

"Kalau aku ngebuka kasus ini sama saja ngelibatin Rades dalam masalah ini sedangkan Papa jauh lebih sayang ke Rades daripada aku, iyakan?"

"Kamu salah, Dit. Pak Ryo juga sayang kok sama kamu buktinya dia ngebujuk aku buat jadi saksi untuk kamu."

"Dan kamu juga tidak seharusnya datang kesini."

"Emang kenapa?"

"Kamu seharusnya mihak Rades bukannya aku yang udah nyakitin hati kamu."

"Aku masih punya otak yang waras, Dit. Oke aku emang sakit hati jika ternyata akhirnya kamu memilih bersama Rinta setelah putus denganku. Tapi aku juga tidak rela ngeliat orang yang pernah aku sayang harus jatuh terpuruk kayak gini atas apa yang tidak kamu perbuat."

"Tidak apa-apa kok!"

"Kamu punya mimpi yang  besar dan kamu berusaha keras untuk olimpiade Internasional kan? Dan kamu tetap merasa tidak apa-apa dengan semua itu?"

"Ini takdir Prinsa!"

"What a stupid you're! Takdir kamu bilang? Bukannya selama ini kamu suka ngelawan takdir? Dit, aku bukan hanya sehari dua hari kenal kamu, kamu berhasil meraih juara olimpiade nasional bukannya karena kamu tidak sependapat dengan takdir? Takdir bisa kamu rubah kalau kita mau, begitu kan sering kamu bilang padaku?"

"Dan aku tidak mau ngerubah takdir aku untuk saat ini."

"Ngomong apa sih, Dit? Bagaimana mungkin kebenaran itu bakal datang sedang kamu sendiri nolak kedatangannya? Dit, kenapa sih kamu nggak pernah ngijinin aku buat ngertiin jalan fikiran kamu sedikit aja."

"Karena aku tidak mau kamu ngertiin aku!" Radit menggebrak meja kemudian berlalu pergi melangkah meninggalkanku.

Air mataku menetes seiring dengan kata-kata yang baru saja Radit lontarkan, jiwaku menangis hatiku meringis dan otakku tengah mengais-ngais sesuatu di antara tumpukan memori, aku kalang kabut. Aku...

"Radit!" Tak tahan aku melihatnya, segala kenangan indahku bersamanya datang menyerbu, jujur perasaan cinta ini masih ada meskipun dia telah menyakitiku, perasaan cinta ini tak pernah mau musnah dari hati. Ku hitung langkah yang ia ambil, setiap langkahnya memacuku untuk turut ikut bersamanya, aku tahu dengan langkah itu akan membawa ia jauh dari dariku. Dan aku tak pernah menginginkan itu terjadi. Kukejar ia, aku peluk ia dari belakang erat-erat, enggan melepasnya, tak mau lagi melepasnya, jika saja ia mau....

"Lepaskan aku, Prin!" Ia lepas pelan-pelan kedua tanganku. "Percayalah, Prin! Aku juga cinta kok sama kamu, aku juga sayang sama kamu ..... " Ia pegang pipiku. " Tapi ada hal yang lebih penting dari sekedar cinta untuk aku perjuangkan saat ini, Prin!"

"Apa?"

 "Pulanglah sekarang. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Aku tidak mau melibatkan kamu dalam masalah ini, cukup aku ngebuat kamu sakit hati sekali aja dan aku tidak mau nyakitin kamu untuk ke-2 kalinya."

"Maksud kamu ?"

 "Please! Pulang sekarang." Ucap Radit mengakhiri pembicaraan, lalu beranjak pergi.

"Baik. Tapi aku bakal kesini lagi."

Dengan terpaksa aku meninggalkan Radit, ku temui Pak Ryo yang ada diluar. Di sana pula aku berpapasan dengan Rinta, dia tak menyapaku pun aku tak mau menyapanya. Memang sempat kulihat keterperanjatan di wajahnya saat melihatku. Tapi biarlah, bukannya dia lebih berhak bersama Radit? Tunggu! Sebenarnya hubungan Radit dan Rinta itu apa sih? Kalau memang mereka jadian kenapa tadi Radit memperlakukanku seperti itu? Rinta juga tidak pernah mau membicarakan tentang hal ini. Sebenarnya ini ada apa sih?

"Gimana? Radit bicara sesuatu sama kamu?" Sambut Pak Ryo ketika melihatku. Aku menggeleng.

 "Saya sudah memaksanya, tapi Radit tetap tidak mau berterus terang, Pak. Dia hanya bilang tidak mau dibantu, gitu katanya. Saya rasa dia dapat tekanan dari seseorang."

"Siapa?"

"Saya juga tidak tahu, Pak. Radit tidak mau membicarakannya."

Sebenarnya aku punya firasat bahwa ini ada hubungannya dengan Rades atau seseorang dari Geng TM. Tapi aku masih belum yakin.

***

"Ngapain Prinsa tadi kesini ?" Tanya Rinta begitu sampai pada Radit.

"Bukan urusan kamu."

"Kamu mau main kucing-kucingan ya sama aku?"

"Tidak, mereka cuma nawarin bantuan."

"Oh begitu! Oiya, aku sudah dapat info yang kamu minta kemarinn, ni." Rinta menyerahkan sebuah amplop coklat besar pada Radit.

Radit menengok sebentar isinya." Bagus. Thanks!"

***

 

"Ngapain kamu jenguk Radit kemarin ?" Ah, kembali mendengar suara sengak itu. Hmm...

"Bukan urusan kamu." Jawabku tak kalah sengaknya.

"Kamu kemarin ke rumah aku ya?"

"Bukan urusan kamu juga."

"Aku ada salah apa sih sama kamu? Ketus banget jawabnya."

 "Mau tahu salahmu? Karena kamu Geng TM."

"Terserah kamu deh. Oh ya, ku harap kamu mau berkunjung ke rumahku sore ini, sepertinya Randa suka sama kamu, dia minta aku ngajak kamu main ke rumah."

"Itu permintaan Randa apa permintaan kamu?"

"Hadeh. Terserah kamulah, Prin. Mau percaya atau tidak."

Rades berlalu begitu saja dari hadapanku. Hufh! Rades dan Radit, 2 saudara yang sama-sama misterius, benar-benar tak mudah menebak seperti apa jalan fikiran kedua saudara ini.

Lepas pandanganku dari bayangan Rades, kini dari depanku tengah berjalan seorang gadis belia yang begitu familiar dengan hidupku, Rinta, yah! Sangat familiar bukan? Saking familiarnya kini kami berubah menjadi saling mengasingkan diri.

Dia tersenyum padaku, kubalas dengan tatapan tajam seolah ingin menelannya hidup-hidup aku benci senyuman itu, yang seolah sedang mengejekku karena dia berhasil mengambil orang yang aku cinta. Aku benci padanya, kenapa harus Radit yang kau ambil dariku? Aku munafik, sebenarnya bukan Rinta yang aku benci. Tapi aku benci pada diriku sendiri. Benci karena aku tak bisa mengembalikan Radit ke sisiku sebelum akhirnya Rinta menggantikan posisiku dalam hidup Radit, benci karena aku egois. Aku adalah orang munafik yang tak mau mengakui keadaan, justru anggapan yang aku tanam dalam otakku adalah Rinta, sahabatku sendiri merebut Raditku, Begitulah. Padahal jika ditelusuri jauh dilubuk hatiku aku mengakui kekalahan dan kesalahanku sendiri.

"Tidak keberatan aku antar pulang?" Tawaran yang disertai senyuman ramah dari Adrian membangunkanku dari segala kesadaran akan kemunafikanku sendiri. "Mau tidak?"

"Boleh! Kebetulan supirku tidak bisa jemput." Jawabku dengan senyum menggoda.

"Sial! Jadi kamu nganggep aku supir pengganti?" Kami tertawa. Sejak Rinta dan aku tak lagi dekat, Adrian berubah menjadi tempat sampahku, tempat curhat dan teman belajar bersama. Siang ini kami janjian untuk bertanding main PS dan sampai malam terus tertawa ngakak hanya sekedar untuk berdebat antara mana yang lebih baik tidur dengan jendela yang tertutup atau terbuka.

"Prin! Ada teman kamu ni yang nyariin." Pekik Mama dari pintu depan, menyibak tawa ngakak kami. Kutinggalkan Adrian untuk menengok siapakah tamu yang datang tidak kenal sikon ehm .... nggak juga sih, jam masih pukul 19.10 WIB.

"Ngapain kamu ke sini?" Sapaku kasar.

"Aku masih belum pikun buat ngingat kalau aku bilang ke kamu Randa ngajak kamu main bareng di rumah."

" Sorry! Aku ga' bisa." Kupegang gagang pintu untuk menutupnya, tapi Rades menahannya.

"Hufh!" Terlalu melelahkan rasanya bila harus meladeninya saat ini, lebih baik aku pergi saja, kembali pada Adrian. Namun seperti kebiasaan, Rades menarik tanganku menghentikan langkahku.

"Kamu harus ikut aku." Rades mencengkram tanganku dan menariknya keluar. Aku coba memberontak. Tapi percuma. Rades berhasil menarikku hingga ke teras depan lalu dipaksa masuk ke mobilnya, menuju rumahnya.

 "Kamu mau lihat Randa?" Ujarnya ketika telah sampai diruang tamu.

Aku mengangguk, dan Rades menuntunku ke sebuah kamar di lantai dua.

"Ini kamarnya!" Rades membuka pintu. Terlihat Pak Ryo serta istri pertamanya sedang duduk disamping ranjang.

"Dia sedang tertidur sekarang. Kamu bisa tidak bangunin dia?"

Di atas ranjang itu, tengah terkapar seorang Randa dengan wajah pucat dengan selang infus dan masker oksigen.

"Randa kenapa?"

"Dia nungguin kamu sejak tadi siang, karena capek dia tidur, Randa minta dibangunin kalau kamu sudah datang, please bangunin dia sekarang. Udah lama dia tidak bangun-bangun. " Ku lihat tetes air mata mengaliri wajah sengak seorang Rades, dia mendekati ranjang di mana adiknya terbaring, ia tekuk kakinya, ia pegang tangan Randa inilah pertama kalinya kulihat Rades meneteskan air mata. Mataku nanar mendengar perkataan Rades. Diam, tak paham harus bagaimana bersikap.

"Memang Randa kenapa?"

"Sejak kecil tubuhnya memang lemah. Randa menderita penyakit jantung, sejak lahir jantungnya bermasalah. Dokter sudah memvonis hidup Randa tidak lebih dari 3 bulan lagi." Pak Ryo menjelaskan.

Seberat itukah beban yang harus dipikul seorang anak sekecil Randa?

"Duduk sini!" Pinta Rades setelah menarik sebuah kursi ke dekat ranjang, aku duduk.

 "Sejak dulu Randa memang ingin punya kakak perempuan," tambah Bu Aisyah, istri Pak Ryo.

Seperti inikah sebenarnya kehidupan di balik seorang Rades? Ternyata dia masih cukup memenuhi syarat dikatakan sebagai manusia, sikapnya yang seperti ini terhadap Randa, menyiratkan kemanusiawiannya. Sebegitu sayangnya kah Rades pada adik tercintanya ini?

Dari arah Bu Aisyah, ku dengar isak semakin terdengar keras. Lagi pula siapa yang ingin melihat anaknya menderita seperti itu. Seorang anak kecil berusia 8 tahun sudah menjalani kehidupan yang seberat ini.

" Ayo!" Rades menarik tanganku. Entah kemana aku akan dibawa lagi olehnya, sejenak ku tengok Randa, keadaannya masih sama.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 5),  Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun