Bukan Jalur yang Sama
Dulu, Naya pernah bilang, "Aku tak mengerti kenapa kamu suka mendaki. Bagiku, diam itu menakutkan."
 Aku hanya tersenyum waktu itu. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa diam adalah satu-satunya ruang di mana aku bisa benar-benar mendengar diriku sendiri? Bahwa di punggung gunung, ketika dunia ramai menghilang, suara hatiku justru paling nyaring?
Tapi Naya bukan bagian dari dunia itu. Ia mencintai keramaian, toko buku kecil, gerimis yang turun di jendela, dan diskusi panjang soal puisi Rendra. Ia bukan penjelajah alam, tapi penjelajah makna.
Meski begitu, entah kenapa, aku selalu ingin menceritakan semua tentang gunung padanya. Tentang tanjakan terjal yang membuat lutut gemetar. Tentang pos tempat kami saling tukar logistik. Tentang suara hening yang kadang terdengar lebih jujur dari manusia. Dan ia mendengarkan. Selalu.
"Aku suka caramu bercerita, Rey," kata Naya suatu malam di balkon kosnya, saat kami berdiskusi bersama teman-teman komunitas sastra. "Kamu membuat tempat yang asing terasa dekat."
Malam itu, aku pulang membawa rasa yang tak sempat kusebut. Tapi aku tahu, Naya telah menempati sudut tenang di dalam diriku---sudut yang bahkan tak disentuh puncak gunung manapun.
Hari ini, di jalur pendakian yang mulai terjal, aku mendaki bukan untuk menaklukkan, tapi mengingat. Aku mengulang langkah demi langkah seolah bisa kembali ke masa di mana aku dan Naya masih saling kabar. Masih saling mengirim potongan puisi dan cerita pendek.
Tapi seperti jalur ini, waktu hanya bergerak ke atas atau ke depan. Tak pernah mundur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI